BACK TO LIBUR Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 1. Back to Libur ­­­"OLGAAA!" Teriakan nyaring si Mami membuat Olga melompat kaget dari tidurnya. Saking kagetnya, Olga sampe nempel ke langit-langit. "Olgaaa!" ­Teriakan kedua lebih kenceng. Olga lebih kaget. Saking kagetnya, Olga sampe jatuh ke tempat tidur dan ngorok again! "Olgaaa!" ­Asamalakata, ada apa nih si Mami pake teriak-teriak? Kali ini Olga gak mental lagi. Dia duduk di tepi ranjang barang sebentar. Sesaat, seperti biasa, ia selalu bengong dulu saban terbangun di pagi hari. Kayak orang bego. Beberapa menit kemudian, baru deh ia sadar dan langsung ngelirik 'ke wekernya. Hampir jam tujuh! Ini kan hari pertama masuk sekolah. Pantesan si Mami udah berkoko senyaring itu. ­"Olgaaaa! Kamu sekolah, nggak?" Gedoran di pintu makin kenceng. Olga langsung mencari-cari sendalnya, lalu buru-buru bangun. Si Mami bisa senewen kalo dicuekin terlalu lama. "Iya, Miii, sebentar!" Olga berjalan terhuyung ke arah pintu. Mengintip sejenak dari lubang kunci. Wajah Mami keliatan ruwet banget kayak TIS. "Kamu ini cewek cap apa, sih? Tiap pagi bangun siang!'" omel maminya ketika Olga ngeloyor ke luar kamar. Olga sejenak melirik Mami yang pagi-pagi gitu udah keringetan abis senam. "Senam, Mi?" "Iya. Kenapa?" salak Mami galak. Si Mami emang paling sewot kalo urusan diet ketatnya itu diganggu gugat. Dan Olga paling demen ngegodain kalo maminya yang gendut itu sibuk ngurusin badan. Olga pun buru-buru masuk ke kamar mandi sambil cekikikan. Ya, daripada disambit sendal sama Mami? Di kamar mandi, Olga mulai jerat-jerit menyanyikan lagu ciptaan terbarunya dengan irama metal: ­"Yeaah, gi tiap pagi kita senam ­tung itung-itung biar langsing gi tiap pagi bangun jam enam ter muter-muter kayak gasing oi, gak taunya bukan tambah ramping lah malah bikin pusing." ­Mami yang lagi asyik-asyik senam, tentu sebel banget denger lagu Olga itu. ­*** ­Pas nyampe kelas, kepala Olga masih pusing. Kayaknya shock banget dia harus ke sekolah sepagi itu, setelah libur panjang sebulan lebih. Ya, selama liburan itu emang Olga cuek banget. Gak pernah ngapa-ngapain. Bangun kadang jam sepuluh lebih. Itu juga karena gak enak sama Mami yang sengaja senam di depan pintu kamar Olga. Kegiatan Olga selama libur paling cuma siaran aja. Selebihnya, ya di rumah. Sampe-sampe di rumah bosen banget ngeliat tampang si Mami. Mau ikutan Karang Taruna di lingkungan rumahnya, acaranya rapat melulu. Mau rencana bikin ini, rapat. Mau bikin itu, rapat. Tapi ya gak pernah jadi-jadi. Akhirnya Olga milih tiduran aja di rumah. Emang salah- juga tu sekolah ngasih liburan panjang banget. Pas masuk jadinya anak-anak udah kembali bego seperti sediakala. Olga pun kembali tertidur di bangku. "Ol, bangun, Ol!" Wina mengguncang-guncang pundak Olga. Olga menggeliat malas. "Lo gimana, sih? Pagi-pagi udah ngorok­. Abis jaga malem, ya?" Wina yang duduk di bangku sebelah nampak manis dengan pita pink di rambut. Tapi Olga gak nanggepin. Wina segera menyeret Olga ke kantin. "Aiii, Olga, kangeeen, deh!" Gaby centil berlari kecil ke arah Olga, dan langsung memeluk Olga ditambah sun pipi kanan-kiri. "Ogut jugaaa...!" Kodri yang dandanannya ala desainer itu ikut-ikut berlari kecil menuju Olga dan... buk! Langsung kena bogem dari Olga. "Aduh, jahat, ih, kamu!" Kodn meringis kesakitan sambil mengelus jidatnya yang benjo1. "Siapa suruh ikut-ikutan centil!" bentak Olga galak. Wina cekikikan. Dan di pagi itu yang cekikikan bukan cuma Wina. Anak-anak saling ribut jerit sana jerit sini, timpuk sana timpuk sini, sepak sana sepak sini, melampiaskan kangen. Olga ngeloyor aja ke kantin bareng Wina, ninggalin Kodri yang masih mengelus-elus jidatnya. Jam pelajaran pertama emang diisi kangen-kangenan. Gak di mana, gak ke mana orang-orang pada kangen. "Heran, gue kok gak pernah ngerasa kangen ama siapa-siapa, ya?" ujar Olga sambil melangkah menelusuri koridor. Wina melirik. Mengamati tampang Olga yang serius banget waktu ngomong tadi. "Tapi kalo sama gue kangen, kan?" Wina mencoba mengusik. Olga mendesis, "Apalagi sama elo! Nggak, gue gak kangen!" Wina jadi kuncup. Gak nyangka Olga bakal berkata seketus itu. "Oii, Olga! Wina! Ke sini dooong!" teriakan Rudi nyaring dari ujung koridor. Olga sama Wina menoleh. Dan di ujung koridor, dia ngeliat ada keramaian. Anak-anak ngumpul ngomongin sesuatu yang kayaknya penting banget. Kedua anak manis itu pun buru-buru menghampiri. Siapa tau ada pembagian jatah oleh-oleh. "Ada apa, Rud? Pembagian jatah oleh-oleh, ya?" sembur Olga begitu nyampe. Wina masih ngos-ngosan. "Yang lo pikir oleh-oleh melulu! Ayo, ikutan demonstrasi, Ol. Jangan sibuk di radio melulu, dong," ajak Rudi semangat. ­"Demonstrasi? Demonstrasi apaan?" "Minta turun SPP, ya?" tanya Wina. "Bukan. Gini, lho, anak-anak ceritanya mau pada protes karena liburan kemaren kelamaan­" jelas Rudi. "Kelamaan? Kok protes?" Wina bertanya bego. "Iya, dong. Bayangin aja, liburan satu bulan lebih! Apa gak kelamaan tuh namanya? Kalo mau ngasih libur, kira-kira, dong. Gue udah bosen kemping, ee sampe di rumah masih bengang-bengong aja. Gak ada kerjaan. Emangnya dikira kita seneng apa dibiarin cengok di rumah melulu? Mau berlibur ke luar negeri, gak punya duit. Apalagi si Ibrohim yang bawaannya gak punya duit melulu. Gimana cara dia ngisi liburan selama itu? Sebagian anak-anak malah ada yang sengaja bikin-bikin keributan di jalanan biar ada kerjaan. Kan bengong selama satu bulan lebih gak enak lho!" Wina dan Olga mengangguk-angguk. Wina ngangguk-ngangguk ngerti, sedang Olga ngangguk karena ngantuk. "Udah gitu, pas masuk semua pelajaran yang udah kita terima dulu, jadi lupa semua. Gawat, kan? Makanya kalo ngasih libur tuh gak usah panjang-panjang. Pendek aja, tapi sering. Misalnya, tiap dua hari sekali, atau tiap Sabtu Minggu kita diliburin. Kan lebih enak, daripada dirapel selama satu bulan penuh!" "Ya, ya, betul juga!" ujar Wina. "Emang betul. Makanya kalian berdua ikutan gabung, dong! Kita ceritanya mau protes sama Kepsek, minta kebijaksanaan!" ujar Rudi makin semangat. "Gimana, Ol?" Wina minta pendapat Olga. Dan ternyata anak itu udah ketiduran di pojok koridor. ­*** ­"Mau ngapain sih kita?" bisik Olga di tengah gerombolan anak-anak yang berduyun-duyun sambil mengacung-acungkan poster protes di lapangan sekolah. Wina yang memaksa Olga ikutan demonstrasi itu jelas sebel banget. "Gimana sih lo, Ol? Kita mau demonstrasi nih!" "Gue ngantuk, Win." "Cuci muka, gih!" "Cuciin, dong!" Sementara anak-anak mulai teriak-teriak memanggil Kepsek. "Wahai, Bapak Kepalanya Sekolah," teriak Rudi lantang. "Kami protes berat atas panjangnya liburan yang diberikan kepada kami." "Ya, Bapak Kepala Sekolah! Gara-gara terlalu panjangnya liburan itu, sebagian dari kami tambah bego!" jerit Kodri yang congornya pas di kuping Olga. Olga jadi sebel. "Iyaaaa, Bapak Kepala Sekolaaaah!!!" balas Olga menjerit pas di kuping Kodri. "Ol, kamu teriaknya jangan di sini, dong!" Kodri kupingnya merasa pekak. "Kamu juga jangan teriak-teriak di kuping saya! Mana belum sikat gigi, lagi!" hardik Olga lebih galak. Wina yang mulai larut dalam aksi protes itu gak gitu merhatiin sobatnya yang tengah bersitegang. "Bapak Kepala Sekolah...," Wina mulai ikut-ikut teriak, "liburnya jangan panjang-panjang, dong! Pendek-pendek aja! Eh, Ol, lo gak ikutan teriak?" Olga yang ditanya diem aja. "Ol, lo gak ikutan teriak?" tanya Wina lagi. "Saya bukannya gak mau ikutan. Percuma, Kepseknya belon keluar." "Kita latihan dulu, Ol." "Ogah. Saya kan udah sering teriak-teriak di kamar mandi." Ya, walau anak-anak pada teriak mengumbar macam-macam keluhan, Kepsek belum juga muncul. "Bapak Kepala Sekolaaaah, keluar, dong! Dengarkan keluhan kami!" teriak anak-anak serempak. "Kita kan capek teriak-teriak dari tadi!" "Ah, ga seru kalo teriak-teriak Kepseknya gak ada," ujar Olga pelan. "Iyaaa, gak seru Kepseknya gak adaaaa!" sambut anak-anak. "Gak asyik kalo protesnya ga ditanggepi­," kata Olga lagi. "Gak asyiiik kalo protesnya gak ditanggepiiin!" teriak anak-anak. "Sama juga bo'ong," timpal Olga. "Sama juga bo'ooooong!" lanjut anak-anak. Tapi Bapak Kepsek masih belon keluar juga. Sementara anak-anak sudah keabisan kata-kata untuk dilontarkan dalam aksi protes liburan panjang ini. Olga juga. "Ayo, dong, Ol. Ngomong lagi. Apaan aja, deh. Ntar anak-anak pasti ngikutin. Gak seru kalo protes gak sambil teriak-teriak," mohon Rudi yang sejak pertama teriak emang gak ganti-ganti. Kata-katanya itu melulu. ­"Saya udah keabisan perbendaharaan kata buat protes," tukas Olga. "Duh, gimana, dong!" Wina sendiri asyik ngebuka Kamus Besar Bahasa Indonesia guna mencari-cari kata baru. Setelah anak-anak hampir putus asa, Kepsek tiba-tiba keluar. "Horeeee, hidup Kepsek!" sambut anak-anak. "Ah, akhirnya keluar juga," tukas Rudi mulai semangat lagi. "Ayo, Anak-anak, kita teriak lagi!" "Eh, Rud, gue gak ada kata-kata lagi, nih," kata Wina yang ternyata gak sukses nyari kosa kata di kamus. "Gak apa-apa. Yang tadi-tadi aja!" "Bapak Kepala Sekolah, kami mau protes, karena liburan kemaren terlalu panjang. Sehingga kami bingung mau ngapain. Mau jalan-jalan kalo sebulan kelamaan. Di rumah aja, suntuk. Mau baca-baca, kok, liburan baca-baca, sih? Nah, apalagi pas masuk, kami udah lupa sama pelajaran yang pernah diajarin. Belon lagi temen-temen yang hobi nongkrong di pinggir jalan, lebih gila lagi..." "Wina..." Rudi memotong. "Dan selama liburan itu kami lebih sering diomelin sama orangtua, karena mereka empet banget ngeliat kita yang kerjanya tidur atau makan melulu. Nah, kami mohon kebijaksinian, eh, kebijaksanaan Bapak untuk jangan ngasih libur kelamaan!" "Wina..." "Andai liburan itu terus-terusan panjang, kami gak tau gimana nasib kami dalam mengisinya nanti..." "Wina... " "Pokoknya kami ingin liburan itu diperpendek, tapi dipersering!" "Wina... " "Apaan, sih?!" "Teriaknya gantian, dong. Yang lain kan belon kebagian teriak!" "0, sori, deh. Napsu, sih!" "Oke, sekarang giliran gue yang teriak," kata Kodri selanjutnya. "Bapak Kepala Sek..." "Tenang! Tenang! Apa sih maunya kalian?" Kepsek naik ke atas podium. Menenangkan massa dengan gayanya yang khas. Biasa, sok wibawa. "Begini, Pak! Kami mau protes karena liburan kepanjangan! Kami jadi bego, lupa sama pelajaran-pelajaran yang pernah kami terima. Kami mohon kebijaksanaan ngasih liburan itu ditinjau kembali!" teriakan Rudi kedengeran paling kenceng. ­"Aduh, aduh! Kayaknya masalah ini tidak bisa dibicarakan sekarang. Kalau itu yang kalian inginkan, nanti akan Bapak rapatkan dengan dewan guru. Tapi tidak bisa sekarang, karena Bapak lagi sibuk sama urusan lapangan olahraga yang mau dibongkar. Dan untuk kelancaran pelaksanaan pemugaran tersebut, maka untuk sementara seluruh kelas diliburkan lagi selama seminggu penuh, Anak-anak!" "Hah? Liur lagi? Horeee, kita libur lagi!" Anak-anak spontan berteriak riuh kegirangan. "Olgaaaa, kita libur lagi!" Wina mengguncang-guncangkan pundak Olga yang ketiduran di pinggir lapangan. Olga kaget. Sesaat, seperti biasa, bengong dulu kayak orang bego. Beberapa menit kemudian, baru deh sadar dan menatap ke arah Wina. "Apa tadi lo bilang? Libur lagi?" "Iya, kita libur lagi!" "Kebetulan, gue masih ngantuk." Sementara anak-anak cowok asyik jejingkrakan. "Horeeee...!" "Kita kemping lagi, yuk?" teriak anak cowok. "Eh, jangan! Kita ke Puncak aja!" "Horeee! Horeee!" ­Dan anak-anak pun dengan riang gembira buru-buru mengambil tasnya di kelas, berhamburan pulang. Tentunya dengan sejuta rencana yang ada di otaknya! ­2. Gak Balik Modal ­DIROKUM dinukum waliadin, eh, di rokum Wina, ceritanya Olga lagi ngisi sisa-sisa liburannya dengan piknik ke rumah Wina. Rumah Wina emang enak buat piknik. Hawanya sejuk, sepi, dan gak banyak orang. Kadang Olga suka seharian nongkrong di rumah Wina. Gak peduli Wina dah bosen ngeliat tampangnya. "Ol, udah sore, tuh," usir Wina. "Cepet, ya? Eh, kalo sore-sore begini paling enak ngapain?" "Tau!" "Main yoyo." Olga emang udah sedari pagi tadi terus-terusan belajar main yoyo di kamar Wina. Walhasil, beberapa barang kesayangan Wina pada berantakan kesenggol yoyo yang melayang ke sana kemari. Tak urung, batok kepala Wina udah tiga kali kena sambar. Makanya Wina udah empet banget ngeliat tampang Olga. Abis kerjaannya main yoyoooo melulu. Gak bosen-bosen. Adat si Olga emang gitu. Kalo lagi suka sesuatu, tekunnya minta ampun. Gak berhasil ngusir Olga secara baik-baik, Wina ingin mencoba dengan cara yang rada gak baik. "Ol, lo gak pulang? Kan udah sore. Apa gak bosen main yoyo terus?" "Enggak, tuh!" "Tapi saya bosen, Ol." "Kalo bosen istirahat aja dulu. Atau tiduran, kek." Huh, percuma aja ngusir Olga pake sindiran. Tapi kalo mau diseret ke luar, kesannya gak etis. Biarlah Olga terus main yoyo. Saya mau baca-baca dulu, batin Wina. Wina menggelar koran sore yang udah dari tadi dikempitnya. Sebenarnya Wina pengen baca sendirian sambil tiduran di ranjang. Tapi Olga dari tadi belajar main yoyo terus sambil berdiri di atas ranjang. Ya, udah. Terpaksa Wina menggelar koran yang hendak ia baca di karpet. Tampaknya emang ada sesuatu yang menarik dari isi koran sore itu. Apa tentang Irak yang jadi jagoan di Teluk? Apa tentang penjurusan di SMA yang mau dihapuskan? Apa tentang gagalnya PSSI yang tanding di Asean Games? Bukan. Uu semua tak menarik di mata Wina. Ya, mau ada perang kek, mau jurusan-jurusan SMA diilangin, mau PSSI nggak gablek main bola, semuanya sebodo amat. Karena yang dicari-cari Wina dalam koran sore itu adalah iklan lowongan kerja! Wina emang lagi napsu mo kerja. Karena Wina sebel banget ngeliat Olga yang tiap bulan udah dapat "uang tetap" dari kerjaannya di radio. Hingga kalo mo beli apa-apa, Olga gak perlu lagi merengek-rengek sama Papi-Mami. Meski Wina anak orang kaya, tapi jelas dia gak bisa sebebas Olga dalam memanfaatkan uang jajan. Kadang sebulan Olga bisa beli sepatu kulit dua biji. Asli kulit kakek-kakek! Makanya Wina dendam banget pengen nyari kerjaan apa yang cocok. Pernah, sih, ditawarin siaran. Tapi Wina-nya ogah. Katanya kerja penyiar kayak orang gila. Ketawa sendirian, ngocol sendirian. Padahal, bukannya Wina ogah, tapi emang suara Wina aja yang kelewat cablak. Bisa dapet duit dari hasil kerja sendiri emang enak. Meski bayarannya gak seberapa tapi bangga. Bisa nyari duit sendiri. Bisa berguna buat orang lain. , Olga yang kini tengah istirahat dari aktivitas main yoyo dan, alhamdulillah, nggak bisa-bisa, iseng-iseng ngintip apa yang dibaca Wina sambil tengkurep di karpet. Dia heran ngeliat Wina yang serius melototin koran sore itu. "Lo masih penasaran mau cari kerja?" "Ya." ­"Lo kenapa gak bilang-bilang dari dulu?" "Emang ada lowongan?" "Ada." "Di mana?" "Di goal!" Wina cemberut. Sial, makinya dalam hati. Udah tau orang lagi sebel. Sebel sama dia yang dari tadi gak mau pulang-pulang. Sebel sama dia yang udah bisa dapet duit sendiri. Sebel sama yoyonya yang udah bikin benjol kepala Wina tiga biji. "Kerja di kantor pos saja, Win." "Serius, Ol. Gue lagi serius, nih!" "Gue juga serius. Di kantor pos ada lowongan. Kerjanya ringan bayarannya lumayan. Ini kalo lo mau." "Kerja apa?" "Gampang. Lo cuma disuruh berdiri di pojokan, dan menjulurkan lidah. Buat nempelin prangko. Di kantor pos kebetulan keabisan lem." "Olgaaaaa..." "Apaaaaa..." ­"Lo kan tau kalau becanda ada tempatnya?" "Di mana tempatnya? Di kantor pos?" Wina memalingkan wajahnya. Dan mencampakkan koran sore itu ke wajah Olga. Olga mengambil koran itu dan berniat membantu mencarikan iklan lowongan. Ternyata ada! "Win, ada lowongan! Bener gua gak bo'ong," tukas Olga seraya menyerahkan koran sore itu. Wina cuek. "Lo kira gua bo'ong, ya? Ini koran, Win. Mana ada koran bo'ong. Atau, gimana kalo saya bacain?" Wina diem aja. "Win, lo masih punya niat mau kerja, kan? Ini ada lowongan, kerja di pameran, Win. Beneran. Kamu mau denger, kan? Ta' bacain, ya?" Wina masih diem. Tapi Olga sudah berniat akan membacakan iklan lowongan itu. "Denger, ya, Win. Dibutuhkan segera berapa gadis menarik untuk ditempatkan di bagian sales promotion. Syarat-syaratnya... kamu denger, gak, sih?" "Denger." "Mana tadi? Syarat-syaratnya, tamatan SMA, tapi SMP juga boleh. Berdomisili di Jakarta. Menguasai minimal dua bahasa. Setidak-tidaknya bahasa Inggris dan bahasa prokem. Punya kendaraan. Bersedia ditempatkan di mana saja..." "Apa lagi?" Win mulai tertarik. "Bersedia tidak dibayar!" "Olgaaaaa!!!" Wina mengejar-ngejar Olga. Olga berlari menyelamatkan diri menuju pintu luar, terus balik lewat pintu samping, masuk ruang tengah, ngiter-ngiterin dapur, loncat ke taman belakang dan finish ke kamar Wina lagi. Baru saja Wlna hendak memukul Olga dengan sapu lidi satu biji, terdengar klakson pos tercatat. Mami Wina teriak dari depan, "Wiiiiin, ada surat dari Diahasut!" "Ha? Diahasut?" Wina terlonjak, dan buru-buru meninggalkan Olga yang ngumpet di kolong meja. Dia menyambar surat itu dari tangan maminya. Ya, beberapa waktu yang lalu, ia bersama Olga emang sempet ngirim lamaran ke perusahaan mobil Diahasut, buat jadi penjaga stand kalo pas ada acara-acara pameran. Dan ternyata, pas surat itu dibuka, Wina melonjak-lonjak kegirangan. "Hore! Hore! Gile, Ol, gua dapat panggilan. Eh, lo kan juga ikut ngelamar waktu itu. Dapat panggilan juga nggak?" Olga yang udah keluar dari persembunyiannya itu jadi inget. Ia pun buru-buru nelepon ke rumah. Nanyain ke Mami, apa ada surat yang datang. "Ada, Ol. Surat kabar," jawab Mami di ujung telepon. "Bukan itu, Mi." "Oo, surat cintanya si Somad bin Indun? Ada nih. Sekaligus lima seri." "Bukan. Surat panggilan dari Diahasut!" Ternyata ada. Mereka berdua pun melonjak-lonjak kayak harga minyak. Kegirangan. ­*** ­Yang dapet surat panggilan kayak gitu, ternyata bukan hanya Olga dan Wina. Buktinya hari itu, beberapa cewek kece datang ke perusahaan Diahasut untuk ikut tes saringan. Yang ikutan bejibun, padahal yang dibutuhkan cuma sepuluh orang. Apa gak susye, tuh? Soalnya sekarang ini, siapa sih, yang gak butuh kerja? Jadi begitu kesempatan dibuka, ratusan mendaftar. Walhasil, Olga dan Wina yang udah dandan menor, sibuk menunggu panggilan masuk di ruang tunggu yang mewah. Dingin ber-AC. Ya, kenapa tu anak dua dandan centil begitu, karena biasanya tes-tes untuk kerja jaga pameran yang dinilai tak lepas dari penampilan. Makanya, saat berangkat tadi, Olga sama Wina malah sibuk beli baju, sepatu kulit, rok, kosmetika, parfum, dan aksesori lainnya. Alasannya, biar penampilan lebih meyakinkan. Untuk memenuhi itu semua, gak lain yang kena todong adalah Mami. Untung Olga masih punya simpanan. Yang bener-bener jebol adalah kantong maminya Wina. "Yah, nanti juga kalo udah keterima dan dapat gaji, Wina ganti, Mi," rayu Wina waktu maminya ragu-ragu ngasih subsidi. Si Mami yang dasarnya emang sayang sama Wina, kena pengaruh. Uang pun berhamburan dari dompetnya. Tapi mami Wina sebetulnya gak perlu kecewa kalo tau gimana seriusnya Wina sama proyek satu itu. Olga aja yang nekat mau pake sepatu roda ke tempat tes, kena damprat abis-abisan. "Lo jangan gila, deh, Ol!" bentak Wina sengit. "Pake sepatu roda masa gila, sih?" "Pokoknya kalo lo masih nekat pake sepatu roda, mending lo berangkat sendiri, gih!" ancam Wina. ­Olga yang punya niat numpang di Wonder kuning Wina akhirnya ngalah. Nggak pake sepatu roda. "Tapi pake sepatu bot," kata Olga. Wah. Wina lagi-lagi cemberut. "Jangan becanda terus dong, Ol!" Wina akhirnya merajuk. "Iya, deh, enggak," jawab Olga. Lama juga mereka menunggu, sebelum akhirnya dapet giliran. Begitu nama mereka dipanggil, mereka dipersilakan masuk ruangan yang ditunggu seorang bapak yang dandan kelimis. Kemudian dua anak itu diukur tinggi dan ditimbang beratnya. Juga diminta membaca sederetan kalimat Inggris. Tes selanjutnya mereka disuruh jalan mengelilingi setengah ruangan. "Wah, kok kayak peragawati?" bisik Wina pada Olga. "Mungkin dia pengen lihat cara jalan kita, Win. Dibagus-bagusin aja. Jangan dingkring." Maka mereka berdua berjalan ala peragawati. Melangkah, berputar, sambil sesekali mengerling centil sama yang ngetes. Sampe yang ngetes manggut-manggut kagum. Abis, pikirnya, tu anak dua jalannya kayak hansip baris. Setelah itu, keduanya diminta ngocol pura-pura ,mempromosikan produk baru yang bakal dipamerkan. Dan bapak yang ngetes pura-puranya jadi pembeli. Kebetulan, di ruangan itu ada contoh mobil yang bakal dipamerkan. Olga. langsung mulai, dengan gaya kayak orang jual obat. "Ayo, siapa mau beli! Siapa mau beli! Ini mobil mobil bagus, lho, Pak. Rodanya aja empat. Kalo jalan muter semua. Kacanya bisa tembus pandang. Mesinnya yahud, semua terbuat dari besi. Nggak ada yang terbuat dari ongol-ongol. Anti karat. Larinya lebih cepat dari sepeda. Tahan panas dan hujan," sesumbar Olga yang dapet giliran pertama. E, si bapak itu dengan enaknya tau-tau menyangkal kocolan Olga yang udah setengah mati ngepromosiin. "Ah, masa, sih? Itu kan mobil murahan." "Lho, Bapak enggak percaya?" ujar Olga sebel. "Enggak. " "Kalo gitu sama. Saya juga nggak yakin ni mobil bagus apa enggak," sahut Olga kalem. Bapak itu bengong. "Wah, jangan gitu, dong. Nanti barangnya gak ada yang beli. Kamu harus menangkis semua serangan dengan argumentasi yang kuat." ­"Abis Bapak ngeselin, sih." . "Ya, namanya aja tes. Kalo gitu coba kamu yang menawarkan," kata bapak itu sambil menunjuk ke Wina. Wina siap-siap. . . "Ini lho mobil paten. Bahan bakarnya irit. Maklum bikinan Yahudi. Pintunya juga gampang dibuka, kalo ditendang. Ada videonya, lagi, kalo situ mau pasang sendiri. Harganya juga murah meriah. Gak lebih dari seratus juta. Bisa diangsur, asal kontan," kocol Wina. Si Bapak manggut-manggut. "Bahan bakarnya apa?" tanya Si Bapak. "Solar!" Wina menjawab mantap. "Aduh salah, Nak. Sedan canggih begini masa bahan bakarnya solar? Bensin, dong. Mesinnya kan bukan disel," ralat bapak itu. "Ah, solar." "Bensin!" "Solar!" kata Wina ngeyel. "Bensin," si bapak nggak kalah ngeyel. "Solar. Asal diisi solar, pasti jalan. Coba aja!" jawab Wina kesel. Si bapak geleng-geleng kepala. Pusing juga dia ngetes dua cewek gokil ini. Kok, ya ada yang kayak gitu. Biasanya sih, orang yang dites nurut-nurut. Ini malah ngelawan terus. Tapi kelihatannya Si bapak suka. Biar keliatan bandel, kedua anak ini nampak cerdas dan nggak malu-malu. Sebab, beginilah yang dicari buat jaga pameran. Pasti mereka bisa menghasut orang supaya beli barang yang dipamerkan. Dan tambahan lagi dua-duanya kece. Kurang apa lagi? Tanpa sadar, si bapak manggut-manggut. "Kalian tunggu di luar. Hasilnya akan langsung kami umumkah hari ini." Olga dan Wina keluar. Dan pas pembagian amplop yang isinya hasil tes, ternyata Wina dan Olga keterima. Yuhuuu, kedua anak itu langsung spontan berpelukan. ­*** ­Sampe di rumah, Wina buru-buru mencium maminya. "Selamet, Mi, keterima!" kata Wina semangat. "Wah, asyik, dong. Duit Mami bakal diganti, kan?" "Pasti, Mi. Tapi Mami mau kan nyiapin duit lagi buat selametan? Ya, sekadar ngucapin syukuran sama Tuhan." . "Wah, kok pake selametan segala?" "Iya, dong, Mi. Kita kan harus selalu bersyukur sama Tuhan," paksa ,Wina. ­Mami ngalah lagi. Selametan jadi dilangsungkan. Mami Wina bener-bener dibuat puyeng. Soalnya, kerja aja belum, tapi duit yang keluar udah seabrek-abrek. Sampe duit Mami jebol. Makanya walau Mami bangga dengan diterimanya Wina kerja, tapi sebenarnya rada sebel juga. Doi merasa dikerjain. Jangan-jangan itu cuma alasannya Wina untuk minta dibelikan macem-macem. *** ­Lebih seminggu menunggu sambil ditraining, akhirnya saat pameran itu tiba. Wina dan Olga langsung sibuk di depan cermin. Berusaha dandan sekec­e mungkin. Itung-itung buat modal mejeng, selain jaga pameran. Cowok yang dateng pasti bakal keren-keren. Siapa tau ada pengusaha muda yang kepincut. "Ol, buruan, dong. Nanti kita telat, nih!" pinta Wina cemas. Padahal dia sendiri masih sibuk memoles-moles bibirnya dengan Revlon. "Sebentar lagi juga rapi, Win. Tenang aja dulu," jawab Olga sambil merapikan roknya. Sementara dengan diam-diam dari lubang kunci, mami Wina mengintai dengan saksama. Hati mami Wina terharu. Nggak nyangka anak secentil Wina ternyata juga punya kemauan kerja. Punya kemauan nyari duit sendiri seperti Olga. Saking terharunya, mami Wina sampe gak sadar kalo ternyata anak-anak udah rapi dandan. Wina dan Olga pun buru-buru menghambur ke luar, lalu menerjang mami Wina yang masih membungkuk di lubang kunci. Akibatnya ketiganya jatuh berguling-guling. "Aduh," Jerit Mami sambil mengusap jidatnya yang benjol kejeduk kaki bufet. Olga dan Wina juga punya nasib sama. Wina malah langsung nyap-nyap gak keruan. Tapi karena jam pembukaan pameran udah mepet, terpaksa marahnya dibawa-bawa ke Wonder kuningnya. Olga cuma bisa menutup kuping ngedenger Wina terus-terusan ngedumel. Untung gak lama kemudian, mereka sampe di tempat tujuan. Mereka buru-buru lapor ke pengawas. Lalu disuruh ganti baju dengan seragam pameran yang berwarna pink. Menjelang siang, ternyata pengunjung pameran melimpah ruah. Hingga Balai Sidang yang ber-AC itu jadi terasa gerah. Wina dan Olga sibuk nerangin ke setiap pengunjung, sambil mengipas-ngipas dengan brosur yang harus dibagikan. Keringet mengumpul di ujung hidung. ­Lama-lama emang keki juga. Soalnya yang datang kebanyakan mau ngeceng yang jaga, bukan tertarik beli mobil. Buktinya ada seorang cowok nanya-nanya tentang keistimewaan Diahasut sama Olga, tapi buntut-buntutnya minta nomor telepon rumah. Bah. Di sudut lain, Wina lagi kebingungan, karena salah ngebagiin brosur. Soalnya brosur yang di baliknya ada catatan coret-oretan tentang harga dan data spesifik mobil buat diapalin, ternyata ia berikan kepada seorang pengunjung. Walhasil, karena gak apal, ia sembarangan aja menjawab pertanyaan pengunjung dengan seenak perut. Ketika jam jaga usai, Olga membuka seragamnya di kamar ganti. Malam cukup larut. Dan waktu berjalan cepat. "Nggak terasa udah lebih seminggu kita jaga pameran, ya Win?" "He-eh. Asyik, dong, sebentar lagi kita gajian. Sehari lima puluh ribu. Jadi berapa ya, honor kita? Kamu niat beli apa, Ol?" "Gue sih pengen beli sepatu roda buat ngegantiin yang waktu itu patah. Yang mahal punya." Di dalam Wonder kuningnya menuju pulang, Wina juga asyik membayangkan sesuatu yang bakal dibelinya. Ah, betapa senangnya bisa membeli barang dengan hasil jerih payah sendiri. Nggak minta Mami lagi. Berbarengan dengan habisnya masa liburan sekolah, tugas mereka sebagai penjaga pameran usai. Ah, Olga dan Wina menarik napas lega seolah terlepas dari belenggu. Ya, selama seminggu mondar-mandir di ruang pamer dengan suasana yang itu-itu juga, ternyata bikin mereka jenuh sumpek. Mereka juga merasa jenuh dengan watak para pengunjung yang kadang-kadang suka aneh-aneh. Bersama rekan penjaga pameran lainnya, Olga dan Wina lalu berbondong-bondong ke bagian keuangan untuk pembagian honor selama kerja. Ternyata sampai di bagian keuangan mereka masih diminta menunggu. Ibu kepala bagian keuangan lagi sibuk rapat, katanya. Untung nggak lama kemudian si ibu yang ditunggu muncul juga. Wina dan Olga mulai sibuk mengkalkulasikan uang yang bakal diterima. Lebih-lebih Wina, karena ini adalah uang pertamanya yang bakal ia terima dari hasil keringat sendiri. "Dipotong utang Mami, sisanya beli apa, ya?" tanya Wina dalam hati. ­"Wina!" Wina tersentak kaget waktu si Ibu memanggil. Tapi kemudian girang, karena tiba gilirannya menerima uang. Olga ternyata udah lebih dulu dapat bayaran. Dengan amplop putih berisi segepok uang, Wina menerima bayarannya. Kemudian buru-buru menarik Olga keluar. "Ke mana kita, Win?" tanya Olga. Wina bingung sejenak. "Kita pulang saja. Gue pengen bayar tang dulu sama Mami," Wina akhirnya kasih keputusan. "Wah, apa enggak sebaiknya kita belanja dulu?" "Nggak, ah. Yuk!" jawab Wina. Lalu menyeret Olga memasuki Wonder kuningnya. Sesampainya di rumah, ternyata mami Wina udah menunggu dengan wajah berseri. "Mi, Wina udah terima bayaran," teriak Wina girang dari pintu halaman. Mami udah tau, kok. Kan Mami juga ngitungin hari kerja kalian. Lantas, Mami mau nagih utang, nih. Wina mau bayar ka?" Ah, tumben, mami Wina ramah banget hari itu. "O, so pasti dong, Mi. Berapa?" kata Wina mantap. Mami kemudian mengeluarkan setumpuk bon dari dompetnya. "Kebetulan dulu Mami ngumpulin bon-bon belanja kamu. Nih, itung sendiri, kom­plet dengan biaya selametan," tukas Mami seraya menyerahkan bon-bon Itu pada Wina. Wina langsung nerima, dan mengkalkulasikan. Selesai menghitung, Wina bengong lama sekali. "Lho, kenapa?" tanya Olga yang heran ngeliat tingkah Wina. "Kenapa kamu, Wina?" Mami juga gak kalah heran campur cemas ngeliat Wina yang kayak kesambet jin iprit. Wina pelan-pelan membuka mulut. "Bon-bon ini jumlahnya tiga ratus lima puluh ribu, Mi," kata Wina lemas. "Iya, lantas?" si Mami cemas. "Honor Wina cuma tiga ratus ribu, Mi," kata Wina makin lemas. "Jadi?" "Jadi nombok Mi. Masih kurang lima puluh ribu lagi. Dan Wina juga harus bayar kredit jaket kulit yang udah duluan Wina ambil di butiknya Tante Siska..." "Ha?" Mami kaget. Di dekat pintu, Olga cekikikan keras sekali. Kik, kik, kik.... ­3. Weker Papi ­PLAK, pluk, tak, kelonteng, gubrak, brek. "Au!" Tuk, gedubrak! Suara-suara aneh belakangan sering terdengar di rumah Olga. Tepatnya di atas rumah Olga. Seperti sore itu, kembali suara-suara aneh itu membahana. Uh, untung Olga gak ada di rumah. Kalo ada? Wah, tu anak bakal ngebales dengan suara-suara yang lebih seru lagi. Misalnya, dengan melempar-lempar meja belajarnya atau membanting-banting tempat tidur tingkatnya. Kan kita tau, kalo Olga paling empet ama suara-suara bising. ­Ini sebenarnya ulah Papi yang beberapa hari ini lagi sibuk ngedandanin kamar kosong yang ada di loteng rumah. Beberapa hari pula Papi gak tidur sekamar bareng Mami lagi. Pisah ranjang? Bukan. Musuhan? Bukan. Tapi Papi ya itu tadi, lagi demen aja ngisi kamar kosong di loteng, yang semula cuma untuk gudang. Yang jelas, kasian para tikus, mereka kepaksa pada ngungsi. Karena bagi para tikus daripada tidur sama Papi mendingan nyari tempat baru! Hihihi. Demi kamar kosong itu, Papi bela-belain nyediain waktunya buat ngeberesin, ngecat, dan ngehias. Seperti sore ini... Plak, pluk, tak, kelonteng, brek. "Au!" Tak, gedubrak! Suara-suara aneh bakal terus kedengar sampe Papi merasa puas dengan tempat barunya. Tapi kok suaranya rame banget, sih? Sebenarnya yang kini tengah dikerjain Papi bukan hanya memaku tempat tidur saja. Tapi biar terkesan seru, Papi sengaja melempar-lempar apa-apa yang ada di situ! Wah, pantes anaknya nurunin. Eh, yang lebih kacau lagi, Papi juga sebenernya melengkapi kamarnya itu dengan segala perabotan yang kebanyakan nyolong dari kamarnya Olga. Olga jelas misuh-misuh. Karena gak jarang pas pulang siaran, tau-tau bantal Miki Mos-nya udah transmigran ke loteng. Juga kipas angin, kalender New Kids on the Block, dan lain-lainnya. Eh, kenapa aneh begitu? Papi kok jadi kecentilan banget. Mau punya kamar sendiri. Mau dihias sendiri. Ini gejala yang aneh. Mungkin kalo kebanyakan pria lain pada usia tertentu mengalami puber kedua, kalo Papi, menurut Olga, malah menjalani balita kedua. Kan sebel banget. Abis gimana gak sebel? Bayangin aja, selain menyabot perabotan untuk menghias kamarnya, Papi juga sering nitip beliin poster Guns 'n Roses, Skid Row, Iwan Fals ke Olga. Tujuan Papi jelas, biar kamarnya terkesan keren. Sedang Mami cuek bebek. Doi malah girang tidur sendirian. Kalo tidur Papi emang suka ngorok. Dan suaranya kayak mesin disel. Berdengung menyebalkan. Sekarang, setelah kepindahan Papi, Mami bisa tidur tenang. Tapi apakah dengan pindahnya Papi, hubungan kedua ortu itu jadi kurang intim? Kayaknya enggak juga. Soalnya, kemaren malem Mami seperti biasa nyediain kopi susu kesukaan Papi. Duduknya berduaan sambil menikmati tontonan RCTI. Dan main jitak-jitakan seiring dengan tebak-tebakan yang mereka lontarkan. "Hayo, abis ini acaranya apa?" tanya Papi. "Film komedi!" jawab Mami tangkas. "Salah. Yang bener iklan shampoo," jawab Papi sambil menjitak pala Mami. Ya, begitu seterusnya. Sampe puas. Sampe pada benjol baru berhenti dan masuk ke kamar masing-masing. Aneh, kan? Tadi sore juga begitu. Pas Olga lagi sibuk latihan main sepatu roda sambil dingkring (eh, belon tau dingkring? Itu lho, bahasa Inggris yang artinya: sedang minum! Hehe), Papi janjian mau lari pagi besoknya bareng Mami. "Pi, pokoknya bangunin Mami jam lima, ya? Ketuk aja pintunya, pasti nanti ada yang ngetuk bales. Eh, maksud Mami, Papi terus ketuk pintu kamar, dan nanti pasti Mami bangun. Oke?" Papi manggut-manggut, sambil asyik terus baca koran sore. Besok paginya, ternyata Papi lupa. Ya, emang dasar Papi pelupa. Tapi Papi bukan lupa lari pagi. Kira-kira jam lima lewat dikit ia sudah bangun. Pake sepatu. Gerak-gerak badan dikit di atas loteng. Kebetulan Papi rada apal gerakan Body in Motion yang disiarin RCTI siang-siang. Setelah ngambil napas dalam-dalam, dan dasar pelupa, bukannya ngebangunin Mami yang udah wanti-wanti dari kemarin sore, lelaki yang kini keliatan lebih centil itu malah langsung keluar. Dan lari-lari kecil sendirian. Selanjutnya Papi muter-muterin kompleks, dengan celana hawai milik Olga dan kaus oblong putih bertuliskan Megadeth! Asyik sekali ia menghirup udara pagi. Tepat Jam enam Papi balik, ia udah ngos-ngosan dan keringetnya bercucuran. Saat itu suasana rumah masih sepi. Olga belon keliatan batang idungnya. Mami juga. Yang ada cuma Si Bibik yang lagi sibuk ngebuka-bukain jendela rumah. "Selamat pagi, Tuan," sapa Bibik pada Papi. "Pagi. Eh, yang lain belon pada bangun?" "Belon, Tuan." "Tolong bikinin teh manis, ya?" "Pake gula, Tuan?" "Tak usah!" Papi kemudian langsung menuju kamar Mami, dan mengetuk-ngetuk, "Mi... bangun!" Papi ngebangunin Mami karena ia mau ngambil baju buat salin yang lemarinya ada di kamar Mami. Pagi ini Papi ada meeting di kantor. "Ya, tunggu bentar," terdengar suara ngantuk Mami dari dalam. Lalu ada suara gedebak-gedebuk. Mami sibuk mengenakan training-nya yang udah kesempitan. Jadi ia terjatuh-jatuh. "Cepet dong, Mi. Nanti telat, kan," kata Papi yang menunggu di sofa. Lemes banget, ia baru lari pagi keliling kompleks. Sebelum-sebelumnya Papi jarang lari. Pernah sekali, itu juga waktu ia diuber anjing tetangga karena disangka mau nyolong mangga. So pasti kali ini .Papi lemes be'eng. Padahal acara larinya pake dicampur jalan kaki setengahnya. Beberapa menit kemudian, pintu kamar Mami terbuka. Mami muncul dengan training putih untuk olahraga. Tapi bawahnya diganti dengan rok buat olahraga ukuran mini skirt dan penuh renda. "Abis celananya gak muat. Pake rok kan gak pa-pa ya, Pi?" Papi menoleh dan mengangguk pelan. Maklum capek. "Ayo, Pi, kita langsung aja," ujar Mami sambil ambil posisi start. Papi heran. "Lho,Mami mau ke mana?" "Berlagak pilon. Katanya mau lari pagi?" Hihihi. Papi ketawa. Dan ngeloyor cuek ke dalam kamar. "Papi ngebangunin Mami cuma mo ngambil salin, doang. Papi udah lari pagi kok." Mami kaget. Berkacak pinggang dan pasang muka sebel. "PAPI INI APA-APAAN SIH?" ­"Sari-sori..." "Mami kirain tadi ngetuk pintu mau ngebangunin lari pagi. Mana Mami udah buru-buru salin. Pake training sampe terpelanting segala!" Mami histeris sambil menjatuhkan pantatnya di sofa. Protes berat ia. "Sori, Papi lupa ngebangunin. Tapi kalo Mami mo lari, ya lari gih sana... mumpung masih semangat!" "Udah terang. Malu! Ntar Mami dikira pom-pom girl nyasar, lagi," ujar Mami ketus. "Bukan pom-pom girl, Mi." "Apaan?" "Ondel-ondel! Hihihi." Mami tambah empet. Udah lari gak dibangunin, dicela ondel-ondel lagi. Mami jelas keki, karena emang mirip! Hehe... "Papi kan kemaren janji mau ngebangunin...," tukas Mami sebel sambil melirik ke sinar mentari yang mulai mengintip dari balik gorden. Sedang si Bibik yang sudah siap dengan teh manis tanpa gulanya langsung balik ke dapur. Ia takut disemprot Mami. Dan daripada mubazir Bibik pun meminum teh pesanan Papi tadi. Dan Olga yang masih interes dengan ngoroknya kepaksa terbangun dengar ribut-ribut. ­Olga melirik ke jam dindingnya. Wah, ampir setengah tujuh. Untung gak telat. Berarti Olga masih punya sedikit waktu buat ngulet-ngulet di atas tempat tidur. "Nikmaaat...," desah Olga. Tiba-tiba wajah Bibik nongoi. "Bagaimana rasanya, Non?" "Jelas lebih enaaak. Hihihi," ujar Olga menirukan iklan. Andai suara ribut-ribut itu bisa ada tiap pagi, tentu Olga juga bisa ngulet-ngulet seperti ini tiap hari.... Olga pun buru-buru ke kamar mandi mau cibang-cibung. Mulanya Olga mau mandi koboi aja, tapi nggak tega juga mengingat kemaren udah sempet nggak mandi. Akhirnya Olga nekat mandi juga meski pagi ini dingin terasa menggigit. Menggosok-gosok sabun ke seluruh tubuhnya. Selesai mandi dan berganti rapi, Olga langsung duduk di meja makan. Makan sandwich sambil ngapalin kimia. Ia ada ulangan pas jam pelajaran pertama. Dan dari semalem itu rumus-rumus kimia susah banget masuk otak. "Pi, cepetan, dong!" tukas Olga akhirnya sambil memasukkan buku kimia ke dalam tas. Olga emang minta diantar ke sekolah. Soalnya biar di jalanan, di tengah kemacetan, ia masih sempat ngapalin rumus lagi. Siapa tau rumus-rumus rumit itu ada yang ketangkep barang sebiji. Sementara Mami keliatan masih sebel. Masih menunjukkan wajah sekusut arumanis, Mami emang lagi melancarkan protes. Ia nggak mau masangin dasi Papi seperti biasanya. Mami juga masih belum mencopot baju olahraganya. Dan sebagai pelampiasan, ia lari-lari kecil mengelilingi ruang tamu. Olga saat itu udah mulai keriting. Nungguin Papi yang tak kunjung muncul dari kamar. Padahal udah nyaris jam tujuh. Padahal VW Combi Papi udah dipanasin dari subuh. Huh! Akhirnya Olga gak tahan juga. "Mi, Papi mana, sih?" tanya Olga gelisah. "Nggak tau. Di kamar, 'kali!" jawab Mami tanpa menghentikan kegiatannya bersenam lantai. "Liatin dong, Mi, udah selesai pakaian tau belum si Papi itu? Sebentar lagi kan jam masuk sekolah. Olga bisa telat, nih!" Olga mulai ngomel-ngomel. Mami nggak kalah sengit. Sambil melakukan gerakan goyang pinggul, Mami menangkis ketus suruhan Olga. "Enak aja! Liat aja sendiri, sana!" ­"Aduh, Olga kan lagi belajar kimia?" Olga mengeluarkan lagi catatannya. "Mami tulungin dulu, kek. Katanya Olga harus memperbaiki nilai?" Mami menghentikan kegiatan senamnya. Lalu mengintip ke kamar. Mungkin Papi lagi kesulitan pake dasi? Rasain, makanya jangan main-main sama Mami. Tapi Mami terperanjat waktu ngeliat Papi di kamar. Taunya Papi lagi tertidur pulas di ranjang. Lengkap dengan dasi melilit di lehernya, pake kemeja kantor dan berkas-berkas kerja bergeletakan di atas meja rias. "Papi apa-apaan, sih? Kok malah molor? Tuh, Olga udah marah-marah!" jerit Mami kesal. Papi kaget. Langsung bangun. Terduduk sebentar di tepi ranjang sambil mengucek-ucek mata. "Ada apa, Mi?" tanya Papi bego. "Ada apa? Papi kan harus ke kantor. Kok malah tidur? Itu juga si Olga udah minta dianterin ke sekolah. Makanya kalo gak biasa lari, jangan nekat-nekatan mo lari pagi segala. Nanti kalo di kantor ngantuk, gimana?" Lalu Mami keluar kamar sambil berkacak pinggang. Memanggil Olga yang lagi ngilik-ngilik kuping di sofa. ­"Olga, coba liat papimu. Pantes aja nggak keluar-keluar, wong dia ketiduran lagi!" jerit Mami jengkel. Olga cekikikan geli ngeliat tingkah laku Mami. Sedang Papi buru-buru menyambar kertas-kertas kantor buat meeting nanti. Lalu menggaet tas yang terbenam di bawah berkas itu. "Ayo, Ol. Berangkat!" ajak Papi begitu keluar kamar. Olga langsung beringsut sambil tersenyum geli. Mami cuma bisa geleng-geleng kepala. *** ­Di perjalanan Olga membuang bulu ayamnya yang sejak tadi dipake buat ngilik kuping. Lalu kembali mencoba ngapalin ru­us-rum­s kimia yang ruwet. Tapi susah juga belajar di dalam mobil. Mana gak ada AC, mana jalan lagi macet. Jadinya gerah dan berisik. Kendaraan lain pada saling berlomba membunyikan klakson. Olga cuma bisa melongo aja di depan buku kimianya. Gak satu pun yang berhasil dihapalnya. Bedanya sama Papi, Papi justru memanfaatkan kemacetan itu dengan tidur-tidur ayam. Matanya udah keliatan berat. Kepala Papi suka sesekali terangguk-angguk. Untung suara cablak Olga mampu bikin kantuk Papi lenyap. "Pi, bagi duit jajan, dong. Olga lagi jatuh miskin, nih!" pinta Olga tiba-tiba. Papi gelagapan. "Apa, Ol?" "Minta duit buat jajan!" jawab Olga keras pas di kuping Papi. "Ambil aja di tas Papi di jok belakang. Tapi nggak usah keras-keras juga papi denger,Ol," sungut Papi. Olga langsung mengubek-ubek jok belakang. Mencari tas Papi yang terbuat dari kulit buaya. Tapi nggak ketemu-ketemu. "Tas yang mana, sih, Pi?" Olga akhirnya hilang kesabarannya. "Ya, yang di situ. Tasnya Papi. Masa tas Mami?" "Tapi yang ada justru tas Mami, Pi." "Ah, masa?" Papi agak kaget. "Ini, kan?" Olga membalikkan badan, membawa tas yang ia pungut dari jok belakang. "Coba liat aja isinya alat kosmetik melulu!" kata Olga sembari menyorongkan tas itu ke idung Papi. Sampe Papi terjajar ke belakang. Papi kaget. Ah, ini mah emang betulan tas Mami. Isinya lipstik, bedak, maskara, saputangan, body lotion, dan apa itu...? Tusuk gigi!'Lantas tas Papi mana? "Wah, Papi pasti salah ambil," tukas Papi menyadari kekeliruannya. "Kok bisa salah ambil begitu, Pi?" tanya Olga sambil melempar tas Mami ke jok belakang. "Ini gara-gara Papi terburu-buru. Tadi pas Papi abis baca berkas-berkas kerja, Papi taruh berkas itu di atas tas Mami. Jadi waktu berangkat, tas Mami yang kebawa." "Trus, gimana?" Olga mulai keliatan cemas. "Ya, terpaksa Papi kudu pulang dulu ngambil tas itu." Olga kontan kaget. "Ha? Pulang?" tanya Olga gelisah. "Iya, emang kenapa?" "Olga bisa telat nih, Pi. Kan jam pertama ada ulangan kimia." "Kalo gitu kamu naik taksi aja...." "Lha, duitnya mana?" "Pake aja duit kamu dulu. Ntar Pap... eh, Mami ganti!" "Dibilang Olga lagi jatuh miskin. Dari mana Olga ada duit?" tukas Olga cemberut. "Tapi Papi juga nggak ada duit sekarang. Duit Papi kan semuanya ditaruh di tas. Makanya harus pulang dulu buat ngambil," Papi juga mulai Panik. "Aduh, Papi, gak usah pake pulang segala, deh. Anter aja dulu Olga ke sekolah. Biar deh Olga gak usah jajan!" "Wah, gak bisa, Ol. Soalnya di tas Papi itu ada berkas-berkas penting buat Papi meeting pagi ini." "Aduh, Papi gimana, sih?" Olga mencak-mencak. Sebel juga ngeliat Papi tetap bersikeras. Padahal Papi juga sebenarnya lagi panik. Tanpa sadar Papi merogoh saku, eh, ternyata ada duit logam seratus perak. "Na, kebetulan nih, ada duit seratusan nyelip, bekas kembalian beli korek kuping. Kalo gitu kamu naik bis aja, biar Papi pulang." Papi menyodorkan seratusan logam itu ke idung Olga. Olga menerima uang itu, dan langsung melemparkannya ke jok belakang. "Ha?" Papi melongo. "Kok dibuang, Ol?" "Kalo naik bis sih sama aja bo'ong. Belon nunggunya. belon macetnya. Sampe di sekolah pasti telat." "Jadi mau Olga gimana?" "Kita pulang aja!" jawab Olga ketus. "Lho? Kamu mau bolos?" "Terserah. Pokoknya Olga hari ini gak mau sekolah. Percuma gak bisa ikut ulangan," Olga merajuk. Papi jadi kelimpungan. Tapi Olga udah gak mau dibujuk lagi. Akhirnya terpaksa Papi ngajak Olga pulang. Celakanya pas sampe rumah, Mami langsung menyambutnya dengan omelan. "Ada apa lagi, nih? Kok pada balik lagi?" hardik Mami galak. "Olga ngambek gak mau sekolah," jawab Papi singkat. "Apa? Nggak mau sekolah?" jerit Mami kaget. "Abis Papi yang bikin gara-gara. Masa Olga mau diturunin di jalanan. Nggak mau anter Olga ke sekolah. Bayangin aja, Mi," beber Olga setengah bikin cerita fiktif. Mami kontan aja kalap. "0, jadi gitu, ya?" kata Mami sinis. "Pantas Olga gak mau sekolah. Kalo Olga gak naik kelas, awas kamu, Pi!" ancam Mami. Papi celingukan. Bingung harus bagaimana. Mau menyangkal juga gak bisa. Abis posisinya udah telanjur kejepit. Akhirnya Papi cuma bisa diem aja. Sedang Mami masih terus-terusan nyap-nyap. "Makanya gak usah pake lari pagi segala. Akibatnya semua jadi kacau begini. Kecentilan amat sih, Papi!" , Papi menelan ludah yang tersekat di tenggorokkan. Papi bener-bener ngerasa gak enak. Di perjalanan menuju kantor, Papi lantas bertekad mau menebus dosa. Papi mau beli weker yang deringnya bisa ngebangunin Papi besok paginya jam enam pagi. Dan Papi janji gak telat lagi mau ngant­rin Olga sekolah. Kan enggak enak. Sebagal Papi, ia harus tanggung jawab juga. *** Di toko jam, Papi memilih-milih weker yang cocok. Setelah susah payah mencari, akhirnya Papi menemukan juga weker yang menarik minatnya. Sebuah weker berbentuk bulat yang ada gambar ayamnya. Ayam itu kepalanya bisa mematuk-matuk sesuai dengan jalannya jarum detik. Yang penting jam itu bisa berdering keras sekali untuk ngebangunin Papi tiap pagi. Di rumah, Papi langsung meletakkan weker itu di kamar daruratnya. Papi gak cerita ke Mami soal barang barunya itu. Bukannya Papi mau bikin surprais, tapi sejak peristiwa kemaren, Mami selalu pasang wajah kusut kalo ketemu Papi. Papi nggak protes, cuma yang bikin Papi kesel, Mami jadi nggak ngurus keperluan Papi. Sampe terpaksa Papi masak ikan asin sendiri. Si Bibik pun udah diancam Mami untuk jangan memberi bantuan. Tapi Papi termasuk orang yang tabah. Papi pikir, biar aja mereka pada marah. Besok juga udah baikan lagi. Apalagi kalo Papi besok pagi-pagi udah siap dengan kemeja kantor, dan ngebangunin Olga buat pergi sekolah. Papi pun menyiapkan kemejanya di kamar loteng. *** Keesokan paginya, begitu weker baru Papi berdering tepat pukul enam, Papi buru-buru lompat dari ranjangnya. Lalu mandi, pake baju kantor, dan siap mengetuk kamar Mami. Malam kemaren Olga lagi kebetulan tidur di kamar Mami juga. "Mi, bangun, Mi. Olga, bangun, Ol. Mau sekolah, nggak?" kata Papi sambil mengetuk-ngetuk kamar keras-keras. Mami dan Olga siuman. Ngulet-ngulet sebentar di tepi ranjang, lalu bergegas menuju pintu. "Ada apa sih ngebangunin orang lagi tidur?" tanya Mami galak begitu ngeliat Papi ada di balik pintu, udah rapi pake dasi dan tas kantor. ­Papi nyengir. "Ng... anu, Mi. Pan mau ngebangunin O­lga sekolah. Juga Mami kalo-kalo mau lari-lari kecil lagi seperti kemaren...." "Dasar pikun!" semprot Mami sambil ngegubrakin Pintu. "Lho, ada apa. Mi? Kok tau-tau marah," Papi kaget setengah mati. "Papi ini maunya apa, sih? Siapa suruh ngebangunin Mami? Siapa suruh gebangunin Olga sekolah? Ini kan hari Minggu. Sana pergi!" Papi cuma melongo di pintu. Bingung mesti ngapain.... ­4. Penyiar Misterius ­JARUM jam di kamar Olga baru nunjukin pukul sembilan lewat seratus dua puluh menit, tapi Olga udah dari tadi-tadi nyingkirin radio kesayangannya ke kamar Mami. Jangan heran, Olga emang lagi alergi sama radio. Bahkan gak cuma alergi, tapi ngeri. Liat radio perasaannya kayak Hat setan. Dengar suara radio, bagi Olga, bagai denger suara kuntilanak. Dan Olga jadi mendadak penakut banget. Yang jadi korban jelas si Papi. Ke mana-mana diseret buat nemenin. Ke kamar mandi, ke warung, belajar. Papi jelas risi banget. Buntut-buntutnya jadi sebel. Abis lagi enak-enak baca koran, tiba-tiba kakinya diseret-seret Olga suruh nemenin ngambil boneka di loteng. "Eee, kok main seret-seret aja? Emangnya Papi serbet?" Olga-nya cuek. Abis kalo gak gitu, Papi nggak bakal mau. ­Olga emang jadi penakut. Kayak kemaren malem, Mami tanpa sengaja nyetel radio kenceng-kenceng, Olga langsung histeris. Padahal tu radio lagi nyiarin perkembangan harga bawang gondol. Cuma yang kedenger di kuping Olga bukan bawang gondol melainkan kuntilanak gondrong! Dan malam ini gak beda sama malam kemaren atau malam kemarennya lagi. Olga selalu ketakutan. Padahal biasanya saban malam, sebelum tidur, Olga mesti ngupingin radio dulu. Atau sambil baca-baca buku pelajaran. Tapi semenjak di radio ada kabar tentang munculnya penyiar misterius yang membawakan acara Diary, Olga jadi gak bisa dengerin radio lagi. Kuatir kalo-kalo si penyiar misterius itu muncul. Ya, sas-sus soal penyiar misterius emang udah rame di sekolah Olga. Terutama temen-temen Olga yang suka dengerin acara Diary-nya Olga pada bilang, ada penyiar misterius yang selalu muncul tiap Olga selesai siaran. "Selamat malam, para pendengar di mana saja Anda berada. Seperti biasa, tiap malam makin malam, saya akan menemani..." terdengar sayup-sayup suara radio dari kamar Mami. ­"Mi, Mami nyetel radio, ya?" teriak Olga. Gak ada sautan. "Mami, nyetel radio, yaaa?" Masih gak ada sautan. Sementara penyiar di radio itu makin asyik mengumbar salam. "Mamiii! Nyetel radio, kok, malem-malem, siiih!" Olga teriak-teriak sambil menggedor pintu kamar Mami. Mami keluar. "Ada apa sih ni anak? Malem-malem kok gedor-gedor pintu?" "Mami kenapa nyetel radio malem-malem. Kan udah Olga bilang sementara ini supaya jangan nyetel-nyetel radio dulu!" "Hei, Mami emang nyetel tapi ngedengerinnya pake headphone, kok. Sengaja Mami denger sendiri." "Lho, j-jadi suara penyiar tadi berarti suara penyiar misterius, dong?" Dan untuk kesekian kalinya Olga pingsan lagi. ­*** ­"Ntar malem Papi antar Olga, ya!" kata Olga lembut sambil ngegeloso di kaki Papi yang lagi sibuk ngikat tali sepatunya. Papi cuek bebek. Dia emang baru aja sarapan, dan berkemas-kemas mo berangkat ke kantor. Mobil VW Combi tua-nya udah dipanasin dari tadi. Suara mesinnya kedengeran kayak Mami yang lagi asyik ngorok di kamar. Olga terus merengek-rengek. Tapi Papi masih asyik dengan tali sepatunya yang ngelilit-lilit gak keruan. Jari telunjuknya aja ada yang ikut keiket! "Gimana, Pi, mau kan temenin Olga siaran Diary kayak minggu kemaren?" kata Olga lagi masih dengan suara lembut. Papi masih gak bereaksi. Padahal jarang-jarang banget Olga ngomong sama Papinya pake suara lembut. Biasanya teriak-teriak cablak. Papi memang masih penasaran sama tali sepatu yang susye diatur. "Pi...!" sapa Olga dengan nada lebih merajuk. Tangan Olga ikut usil narik-narik tali sepatu. Papi cemberut dan menepak tangan Olga. Tali sepatu yang hampir kelar diiket itu jadi berantakan lagi. Papi kembali membetulkan. Olga makin kesel dan kembali menarik tali sepatu Papi. Terbuka lagi! Papi kembali membetulkannya tanpa protes sedikit pun. Ia menjauhi Olga. Lalu dengan hati-hati mengikat tali sepatu: Dan... berhasil! "Alhamdulillah...," desah Papi sambil nyeruput sisa kopi. "Papi jahat!" jerit Olga tiba-tiba. "Dimintain tolong sama anaknya aja gak mau. Apalagi dimintai tolong sama bukan anaknya." "Misalnya, siapa?" ledek Papi. "Mami!" "Hus, kamu bisa aja." "Abis Papi jahat!" "Nanti malam Papi sibuk berat. Nggak mungkin ngantar kamu. Lagian kamu kan bisa ajak Wina buat nemenin. Dulu-dulu kamu nggak pernah ngajak Papi. Kenapa sekarang Papi kamu bikin repot?" "Sejak ada penyiar misterius, Wina nggak berani antar Olga lagi, Pi. Dia kan anaknya lebih penakut dari Mami," kata Olga lagi. Papi manggut-manggut. "Tapi, yang jelas nanti malem Papi nggak bisa nganter kamu. Papi repot!" "Papi kok tega banget, sih?" gerutu Olga sambil siap-siap menarik tali sepatu Papi. Tapi, gagal. Papi udah keburu meninggalkan Olga yang terbengong-bengong. *** ­Olga emang jadi kayak anak kecil sejak tiga minggu belakangan ini. Tingkahnya jadi minus banget. Terutama bila menjelang siaran Diary yang diadakan tiap malam Jumat. Olga pasti merajuk dan merengek-rengek ke Papi agar Papi mau nemenin siaran. Soalnya acara yang dulu disiarin dari jam sepuluh sampe jam sebelas ini, diubah jadi jam sebelas sampe jam dua belas. Olga sebenarnya bukan anak penakut. Biasanya juga dia siaran Diary sendiri. Atau kadang-kadang ditemenin Wina kalo ada duit lebih buat nraktir Wina nasgorkam. Tapi sejak ada desas-desus penyiar misterius yang selalu membacakan Diary se­abis. Olga siaran, Olga kontan nggak berani lagi malam-malam ngejogrok sendirian di studio. Wina juga kontan membuang niat baiknya nemenin Olga siaran seperti biasa walau diiming-imingi nasgorkam. Munculnya desas-desus mengenai penyiar misterius emang gak sengaja. Yaitu waktu Riska, yang sekelas sama Olga, nanya ke Olga. "Eh, Ol, lo sekarang siaran Diary-nya sampe jam satu, ya?" Olga yang nggak begitu sadar sama pertanyaan itu menjawab sekenanya. Malah sambil asyik ngejilat Toblerone yang mencair kepanasan. "Ah, nggak, Ris. Lo tau dari mana gue siaran ampe jam satu. Biasa aja kok, cuma ampe jam dua belas. Kan izin mengudaranya kalo bukan malam Minggu cuma sampe jam dua belas doang!" "Gue kan ngikutin siaran lo. Tapi kok lo siaran sampe jam satu? Gue juga heran. Makanya gue tanya ke elo." Olga agak tersentak kaget. "Ah, masa?" tanyanya heran. "Betul, masa gue bo'ong, sih?" Riska meyakinkan. Tapi saat itu Olga nggak mau percaya. "Mungkin lo lagi ngimpi kali, Ris!" sangkal Olga. Walau Riska terus ngotot, Olga tetap aja nggak mau percaya. Sampe Olga dapat pertanyaan lagi dari Erwin, temen sekelasnya yang emang nge-fans dengar Olga siaran. "Wah, siaran Diary lo yang malam Jumat kemaren serem banget ceritanya. Gue ampe merinding. Gak bisa bobo. Sialan. Terutama yang jam-jam terakhir, tuh. Eh, ngomong-ngomong siaran Diary lo nambah, ya?" "Nambah?" "Iya, biasanya kan cuma sampe jam dua belas. Tapi yang gue denger malam Jumat kemaren itu ampe jam satu. Gue sebenarnya ngantuk berat, tapi jadi gak bisa bobo, gara-gara serem denger lo siaran," kata Erwin. Olga jadi bimbang. "Masa sih? Cerita serem apa?" "Itu, gadis manis yang bunuh diri gara-gara tertusuk duri...." "Ah, masa?" "Lo gimana, sih? Lo yang siaran, tapi lo gak tau!" Erwin rada kesel juga, dikiranya Olga belaga pilon. Padahal Olga berkata jujur. Olga emang nggak merasa siaran sampe jam satu. Apalagi bacain cerita yang serem-serem kayak gitu. Hiiii.... Diary memang merupakan siaran penutup untuk malam Jumat. Olga sendiri biasanya langsung pulang begitu selesai siaran. Kebetulan acara Diary disiarkan secara langsung, karena nunggu surat yang masuk dulu, di samping siangnya Olga sibuk, udah kebanyakan les. Jadi Olga tau pasti kalo ia nggak nambah-nambah jam siaran. Lagian mana boleh.... "Mungkin ada orang yang menyusup malem-malem dan nekat siaran sendirian?" tanya Wina bergidik. "Ah, tapi mana mungkin, kan studio dijaga sama Mang Aka," Olga menyangkal. "Penyiarnya cowok apa cewek, Er?" tanya Olga kemudian pada Erwin karena mengira, mungkin yang siaran Mas Darmo, bagian klining serpis yang emang sering tidur di studio. Kali aja malem-malem dia iseng, lalu coba-coba jajal jadi penyiar. "Cewek..." ­"Cewek?" Olga tambah kaget. "Siapa, ya, kalo gitu?" "Emangnya bukan lo, Ol?" tanya Erwin masih penasaran. "Bukan, lagian ngapain gue siaran ampe jam satu!" jawab Olga. "Nah lo!" Olga tentunya bingung setelah kejadian itu. Kadang dia percaya, kadang nggak. "Masa iya sih?" tanya Olga dalam hatinya. Tapi waktu keyakinan Olga mulai menipis, pasti ada aja orang yang nanya ke Olga soal siaran Diary itu. Akhirnya Olga percaya lagi. Pada malam Jumat berikutnya barulah Olga bisa membuktikan rasa penasarannya. Di rumah, saat suasana rumah begitu sepi, Olga menggotong radionya ke kamar. Ceritanya Olga baru aja pulang dari studio. Sampe di rumah sekitar pukul setengah satu. Jadi masih ada waktu setengah jam untuk mengecek adanya penyiar misterius itu. Karena menurut teman-teman Olga yang sempet denger siarannya, biasanya si penyiar misterius itu mengudara sampe jam satu. Suasana hening. Bulu roma Olga merinding. Dengan perasaan ngeri, Olga lalu menyetel radionya. Mencari gelombang- 101,6 FM. Olga nyaris pingsan waktu didengarnya sayup-sayup suara seorang penyiar lagi mengudara di gelombang itu. Suaranya mirip suara Olga, tapi Olga yakin banget itu bukan suara dia. Lalu siapa yang di studio siaran sendirian malam-malam begini? Apa iya Mbak Vera sengaja menambah jam siaran Diary tanpa sepengetahuan Olga? Ah, nggak mungkin. Tadi waktu Olga pulang rasanya nggak ada tanda-tanda seorang bakal menggantikan tugasnya. Olga menyimak lagi suara penyiar di radionya. Walaupun sangat ngeri tapi Olga nekat terus. Betul juga kata Erwin, penyiar itu selalu membacakan Diary yang kisahnya serem dan sedih. Lebih sedih dari yang biasa dibacakan Olga. Seperti kali ini... "Saya merasa diri saya nggak ada artinya lagi. Saya juga heran kenapa saya selalu gagal tiap memulai sesuatu. Semua orang menjauhi saya. Semua orang seperti memusuhi saya. Terus terang, saya jemu dengan hidup seperti ini. Saya ingin mengakhiri hidup saya. Saya tau ini bukan jalan terbaik, tapi saya nggak punya pilihan lagi. Saya ingin lepas dari impitan ini bagaimanapun caranya..." Musik bernada mistik mengalun lembut mengiringi si penyiar saat membacakan Diary itu. Membuat suasana tambah mencekam dan mengerikan. "Hiiiii...!" Olga kontan merinding, dan dilemparnya radio itu ke atas karpet, lalu ia ngumpet di balik selimut teba1. . *** ­Besoknya pas Olga ngisi siaran siang hari, anak-anak radio udah gempar. Semua pada tanya-tanya ke Olga. Tapi buat sebagian penyiar senior macam Ucup, kayaknya udah mahfum. "Itu biasa, Ol. Nggak aneh lagi," ucap Ucup. "Bang Ucup juga pernah ngalamin?" Olga penasaran. "Sering. Kata para penyiar yang dulu-dulu, konon emang pernah ada kejadian penyiar cewek sini yang mati gara-gara ketiban mikrofon." ­"Ketiban mikrofon? Kok mati?" Olga gak percaya. "I­a, soalnya mikrofonnya lagi diiket ke kulkas.... " Ih, sama aja bo' ong emang kalo nyari info ke anak sableng macam gitu. Mending nanya aja ke Mbak Vera. Olga pun mencari Mbak Vera ke ruang kerjanya. Mbak Vera lagi meneliti program siaran selama seminggu yang dirancang Kepstu. "Sibuk ya, Mbak Ver?" tanva Olga basa-,basi. "Kayaknya sih begitu," jawab Mbak Vera pendek. "Bisa nggak minta waktu dikit? Ada yang mo ditanya nih, Mbak Ver." "Soal penyiar misterius?" "Kok Mbak Vera tau?" "Anak-anak udah cerita tadi." "Trus pendapat Mbak Vera gimana?" Olga bertanya serius. Saking seriusnya, idungnya sampe kembang-kempis. Mbak Vera diam. Napasnya ditarik dalam-dalam. "Kok Mbak Vera diem?" Mbak Vera mengusap kepala Olga. "Mbak Vera juga nggak tau. Entah bener, entah tidak, konon emang zaman Mbak Ve­ra masih segede kamu, saat Mbak Vera belum kerja di sini, katanya ada penyiar cewek yang bunuh diri karena patah hati. Gak tau yang jelas ceritanya gimana, tapi katanya cewek itu juga suka bawain acara Diary kayak kamu. Penggemarnya juga banyak. Cuma ya itu dia, akhir ceritanya jadi tragis. Cukup lama acara Diary akhirnya dikosongkan. Sampai akhirnya ada kamu, Ol, dan acara Diary kita adain lagi, karena emang sebetulnya acara itu menarik. Dan mungkin arwah cewek itu terkesan sama kamu yang berhasil menghidupkan acara Diary lagi, hingga dia muncul...." Olga merapatkan tubuhnya ke Mbak Vera. Bulu romanya merinding. "K-kok Mbak Vera gak cerita dari dulu-dulu?" Olga protes. "Sebetulnya Mbak Vera nggak mau cerita ini ke kamu. Mbak Ver nggak mau kamu takut dan percaya sama hal-hal seperti ini. Mbak Ver takut kamu nggak mau siaran lagi," kata Mbak Vera. Olga terdiam. Tapi Mbak Ver buru-buru tersenyum menenteramkan perasaan Olga. "Terserah kamu, apa acara semenarik Diary itu mau dihilangkan lagi?" Olga jadi mikir. Sebetulnya sayang banget Diary diilangin. Di samping banyak penggemarnya, honor untuk sekali siaran Diary termasuk gede. Karena acara itu dianggap menarik. Mana Olga juga punya utang sama Wina waktu nonton show Tommy rage kelas VIP di Istora Senayan. "Tapi kamu nggak usah takut, Ol," ujar Mbak Vera melihat kebimbangan Olga. "Maksud Mbak?" "Arwah itu gak pernah mengganggu kita kok. Kecuali kalo dia lagi iseng." "Ha?" Olga terperanjat. Mbak Vera tertawa cekikikan ngeliat tampang Olga yang keliatan bego karena ketakutan. *** ­Makanya, sekarang Olga lagi dirundung rasa ngeri. Dan buntut-buntutnya si Papi yang jadi korban, disuruh nganter dan nemenin kalo Olga siaran Diary. Mengharapkan Wina sih percuma aja. Sejak ada sas-sus penyiar misterius, dia gak mau lagi nginjek lantai Radio Ga Ga. Boro-boro nganterin, ngingetin Radio Ga Ga aja ogah. Pokoknya gak ada harapan deh ngerayu anak penakut kayak Wina. Sementara mau minta anter Mami, setali tiga uang sama Wina. Jangankan sama yang namanya setan, ngeliat Ucup aja Mami lari ketakutan. Tinggal pada Papi-lah Olga bisa berharap banyak. Tapi, seperti kamu tau, hari ini papi lagi ngadat gak mau nganterin Olga. Gimana Olga gak pusing? Tapi dasar Olga tipe cewek kedot juga, biar Papi udah jelas-jelas menolak, pas pulang kantor Olga masih ngeyel. "Ayo, dong, Pi. Nanti anter Olga. Kok Papi tega, sih?" "Papi sibuk, Olga. Banyak kerjaan kantor yang harus diselesaikan di rumah!" tolak Papi ketus. "Lha, Papi kan bisa ngerjain tu tugas dari sekarang. Ntar jam sepuluh kan rapi." "Papi perlu istirahat. Papi kan capek." "Kalo gitu, ntar pulangnya Olga pijitin, deh." Begitu Olga janji mau mijit, baru suara Papi jadi agak berubah. Pijitan Olga emang paling enak, menurut Papi. Entah kenapa meski udah sering dipanggilin tukang pijit, tapi gak ada yang bisa memijit seenak Olga. Tu anak emang punya bakat banyak! Tapi... . "Sebenernya selain capek, Papi juga agak gak betah nungguin kamu siaran, Ol. Ngapain. Sementara kamu punya kesibukan ngocol, papi cuma bengong menahan kantuk. Kan gak enak," ungkap Papi. "Kalo cuma itu masalahnya, gak problem, Pi. Gimana kalo ntar malem Papi juga ikut ngebacain- Diary bareng Olga?" "Apa? Papi ikut baca Diary?" "Iya." "Emang bisa?" "Kenapa gak bisa?" Papi jadi nampak berseri-seri. Apalagi ditambah janji Olga yang mati mijitin. Wah.... Malamnya Papi emang lantas mau nganterin Olga siaran pake VW Combi bututnya yang udah dipanasin dari sore. Papi juga ikut-ikutan ngebacain Diary dengan gaya reporter pertandingan sepakbola. Pas pulang, Olga tertidur di jok belakang Combi. Tinggal Papi yang harap-harap cemas, mengintip dari kaca spion. Aduh, jangan-jangan tu anak lupa sama janjinya mau mijitin kaki Papi. "Ol... bangun. Katanya mau mijitin," ujar Papi pelan-pelan waktu VW Combi udah aman masuk garasi. Olga terbangun, lalu langsung ngeloyor ke dalam rumah. "Apaan sih, Papi. Ribut-ribut minta dipijit. Ini kan udah malem?" Papi bengong. ­*** ­Keesokan sorenya sepulang kantor, Papi nampak beringsut-ingsut di samping Olga yang lagi asyik cekakakan baca buku gokilnya Larry Wilde. "Ada apa, Pi? Kok kayaknya sibuk amat, sih?" Olga merasa terganggu. "Ada yang mau diomongin nih, Ol,'" jawab Papi lirih. "Soal apa? Kok keliatannya serius amat?" "Kamu siaran malem lagi kapan?" Olga rada heran. "Ya, malam Jumat depan, dong. Emang kenapa, Pi?" "Eh, Papi diajak lagi, kan?" Olga mengernyitkan alis. Lho, kok tumben? Biasanya diajakin susah, ini sih baru hari Jumat udah minta diajak. "Ya, Olga, sih, seneng banget kalo Papi mau ikut lagi. Ada apa, sih? Kok tumben, Pi?" "Ah, Papi jadi malu, nih." "Malu?" Olga nyengir sambil heran. "Ng... begini..." Papi diam sesaat, lalu melanjutkan setelah menoleh kanan-kiri, melihat jangan-jangan ada Mami lewat. "Begini, Ol. Tadi pagi di kantor orang-orang pada muji suara Papi. Rupanya mereka juga pada suka dengar acara Diary itu. Terutama gadis-gadisnya. Mereka bilang, Papi punya bakat jadi penyiar. Suara Papi bagus...." "Mereka bilang begitu?" Olga menahan tawa, "Yo-a. Papi sih nggak mau ngecewain mereka...." Olga sekuat tenaga menahan tawanya. "Iya, Pi. Papi pasti Olga ajak." "Eh, tapi maksud Papi kalo bisa, sih, seterusnya...." Olga mengangguk-angguk, sambil mau permisi ke belakang. Ia gak tahan mau meledakkan tawanya di kamar. "Eh, tunggu, Ol." Papi mencekal tangan yang hendak beranjak. "Kalo ada lowongan penyiar di Radio Ga Ga, bilang-bilang Papi, ya?" Olga melongo. ­5. Telepon Setan ­INI masih cerita soal yang misterius. Tapi bukan dialami Olga. Pengalaman ini dialami Andi, tetangga Olga yang masih sodara sama Olga. Hubungan sodaranya gini. Dulu kakeknya si Andi ini punya ayam. Nah, ayam kakeknya si Andi ini kawin sama ayamnya kakeknya Olga. Jadilah Andi dan Olga sodara. Makanya berhubung sodara, kamu patut dengerin juga cerilanya si Andi yang punya bodi dan tampang lumayan keren ini. Ceritanya gini. Pas sore-sore, di lapangan basket. Dan Andi saat itu lagi sebel banget liat temen-temennya. Abis mereka bukannya pada nerusin latihan basket, malah asyik duduk-duduk ngobrolin tentang telepon setan. Jadinya bola, ring, atau apa aja yang ada di atas lapangan itu keliatan kalah menarik dengan telepon setan. ­Telepon setan? Itu tuh, telepon yang konon lagi ngetop, yang kalo kita puter nomornya, akan ada setan yang menyahut panggilan kita. "Bener! Si Obet, temen SMA gue pernah nekat nelepon. Pertama-tama emang gak diangkat, tapi gak lama kemudian, terdengar suara desahan cewek yang menyeramkan. Mirip-mirip suara kuntilanak, gitu," cerita Rob. "Serem juga, ya," timpal Sandra. "Tapi, kok, waktu temen gue ngetes nomor itu, gak ada yang ngangkat, sih," cetus Edwin. "Mungkin dia lagi males kali. Karena, masih menurut si Obet, belakangan ini tu setan lagi sibuk ngeladenin telepon-telepon yang masuk ke dia." Sementara itu Andi terus berusaha mengalihkan perhatian dengan men-dribel bola basket keras-keras di situ. Tapi, anak-anak sebodo teing! Andi memang gak gitu percaya ama takhayul-takhayulan. Apalagi tentang telepon setan itu. "Nah, lo kenal Washari, kan? Temen SMP gue yang pernah naksir pembantunya Fahmi, Ikem. Dia, malah pernah didatengin," lanjut Rob. "Didatengin setan?" sembur Edwin penasaran. "Bukan! Didatengin emaknya Ikem, minta pertanggungjawaban. Hihihi," sela Andi mengacaukan suasana tegang itu. "Kalo lo gak percaya ya, udah. Lo boleh tanya ama Washari," Rob nyolot diserobot Andi. Ia nampak berusaha keras meyakinkan anak-anak. "Emangnya lo udah pernah nelepon juga, Rob?" tanya Andi kemudian. "Gue sih belon. Tapi banyak temen-temen gue yang udah pernah nelepon." "Kenapa belon?" "Gue kan gak punya telepon." "Lewat telepon umum kan bisa." "Kalo pake telepon umum biasanya tu setan gak mau ngangkat." "Dari mana dia tau kalo kita pake telepon sendiri atau telepon umum?" "Ya, jelas tau, dong. Namanya aja setan!" Huh! Andi jadi makin empet ama Rob yang hobi banget mengembusi anak-anak dengan cerita-cerita model begituan. Rob dulu juga pernah cerita bahwa di daerah Petamburan ada kuburan yang dalemnya bisa diselusuri seperti gua. Katanya kuburan itu bekas kerajaan setan. Taunya, cuma kuburan besar model tempo dulu yang longsor karena banjir. Denger-denger, kuburan itu, oleh anak-anak di sekitar situ, malah suka dipake buat pacaran. Eh, tapinya cerita soal telepon setan ini rada lain. Karena Andi sendiri gak cuma denger dari mulutnya Rob. Temen-temen sekelasnya juga sering pada cerita. Ada yang bilang, kalo mau ditanggepin ama tu setan kita mesti nelepon dia tengah malem. Kira-kira abis tipi, gitu. "Dan, bagi yang gak percaya, kata temen gue, bisa-bisa disamperin atau ditelepon bagi yang punya telepon." "Hiii, kalo gue sih, percaya-percaya aja, deh," tukas Sandra rada ngeri. "Kalo gue sih, mau didatengin kek, enggak kek, gue tetep gak percaya!" kata Andi. "Dan, hari ini gue mau latihan sendiri. Gue gak mau latihan ama anak-anak yang percaya ama telepon setan...!" Anak-anak, tampaknya, juga gak mau latihan ama anak yang gak percaya ama telepon setan. Mereka terus saja asyik ngomongin kejadian-kejadian seru yang berhubungan dengan telepon itu. "Oya, gue ampir lupa," lanjut Rob yang masih terus semangat. "Lo pada kenai Roni, kan? Roni yang rumahnya di Blok A, yang punya toko karpet? Dia pernah nanya ke Penerangan soal nomor telepon itu. Dan kata orang Penerangan nomor telepon itu memang misterius." Sementara Andi yang bosen main basket sendirian, siap-siap pulang. Dia mau ninggalin anak-anak yang masih pada asyik cerita. Andi meraih sepeda balap "federal"-nya yang terparkir di pinggir lapangan. Keringet bekas abis pemanasan sendirian tadi ngebasahin sekujur tubuhnya yang atletis. Ia membuka kaosnya yang basah. Kaosnya diperes, hingga mengucur keringet yang tadi menyerap. Dan ternyata tingkahnya ini membuat seorang gadis yang lagi jalan di seberang jalan terbengong kagum sampai nabrak tukang cincau segala. Tukang cincau jelas ngomel-ngomel, sebab ada gelasnya yang pecah. "Matenye dikemanein, sih?" semprot abang cincau. "Maap, Bang, gak sengaja." "Sebodo! Pokoknya ganti gelas yang pecah ini!" "Iya, saya ganti. Tapi tak usah teriak-teriak begitu, gak enak kalo ada yang li... eh, denger, kan?" Dan dari kejauhan Andi ketawa-ketawa kecil aja sambil geleng-geleng sepatu geleng eh, sambil geleng-geleng kepala! ­Andi pun berseksi-ria, hanya dengan memakai celana pendek dan melilitkan kaosnya di pinggangnya, mengayuh sepedanya. Melaju menuruni jalan yang rada curam dekat taman kompleks perumahan situ. Andi meninggalkan gadis manis dan tukang cincau itu, meninggalkan lapangan basket yang kesepian, dan meninggalkan anak-anak yang masih terus asyik cerita-cerita tentang telepon setan. Amit-amit, batin Andi. Ia berharap agar yang percaya ama gituan tinggal temen-temennya itu aja. Dan mudah-mudahan mereka besok-besok udah lupa. Aneh. Di zamannya musim televisi swasta begini kok, masih ada orang yang percaya sama hal-hal yang gak masuk di akal. Di pinggir jalan Andi berhenti sejenak. Mampir sebentar ke warung pinggir jalan untuk membeli Coca-Cola. Saat menyeruput, si abang tukang jualan iseng mengajaknya ngobrol untuk basa-basi. "Keliatannya aus banget?" "Iya, Bang, abis latihan." "Yang lainnya pada ke mana?" "Ada." "Eh, suka main telepon-teleponan, gak, Dik?" ­"Hmm, emangnya kenapa?" "Kan sekarang banyak anak-anak yang suka main telepon-teleponan, Dik." "Ah, itu kan biasa, Bang." "Tapi yang ini lain. Anak-anak suka pada neleponin setan!" "Setan?" "Iya, mereka menyebutnya telepon setan!" Ya, amplop! Kenapa ni Abang juga ikut-ikutan ngomongin telepon setan? Kenapa bisa jadi mewabah begini ya? batin Andi bingung. "Zaman Abang kecil dulu ada juga yang kayak gitu. Namanya jalangkung. Tapi gak pake telepon. Soalnya dulu kan belum musim telepon. Sekarang setannya agak moderenan dikit, ya, Dik?" si Abang itu terus nyerocos sambil menerima duit lima ratusan lecek dari kantong Andi. "Hm?" Andi cuek aja. "Adik, pengen tau nomor teleponnya? Saya tau, kok." "Nggak, nggak!" Andi buru-buru mengembalikan botol Coca-Cola, dan langsung cabut pulang. Dan jadi pengen cepet-cepet sampe rumah. Ia pun menggenjot kuat-kuat "federal"-nya. Tapi sampe di pekarangan rumahnya yang luas itu, Andi hanya melihat kelengangan. Ya, tampaknya para penghuni rumah lagi pada gak ada. "Mama ke mana, Bik?" tanya Andi setelah memarkirkan sepedanya itu. "Ke Bogor, Den, menjenguk Nenek. Katanya Nenek dirawat di rumah sakit lagi," ujar si Bibik. "Papa?" "Belon pulang, tuh. Tapi katanya sih, mau langsung ke Bogor juga. Dan kemungkinan nginep, Den." Andi pun menjatuhkan diri di sofa, sambil nonton tivi. Kipas angin dinyalain ke arahnya, supaya keringetnya cepet kering. Plkirannya rada kacau juga. Cerita tentang telepon setan melintas di khayalnya. Mungkin karena lelah, ia mudah terlelap. *** ­Kringgg!!! Suara telepon nyaring mengganggu tidurnya. Andi terjaga, Lalu mengangkat telepon. Terdengar suara di ujung sana. Suara cewek yang, entah kenapa, terdengar rada aneh. "Halo? Andi ada?" "Ya, ini Andi. Dari mana, nih?" "Masa gak tau? Kamu kan tadi nelepon saya?" ­"Ah, enggak. Emang nomor telepon kamu berapa?" "7490539." "Ha?" Tiba-tiba bulu roma Andi serasa berdiri. Ia gemetar. Ia ingat nomor itu yang tadi sore diributkan anak-anak di lapangan basket. Telepon yang ia genggam terjatuh. Suasana sekitar jadi mendadak suram. Lampu ruang tengah meredup. Di luar, nampak kepekatan malam. Andi berusaha berteriak memanggil si Bibik, tapi mulutnya serasa tersumbat. Ia berusaha bangun, tapi ujung jempolnya pun tak dapat ia gerakkan. Tiba-tiba ia dilanda ketakutan yang luar biasa. Bagaimana telepon setan itu justru tau nomor telepon saya? batin Andi. Suara di telepon masih terdengar. "Halo? Halo? Hihihi..." Andi berusaha berontak sekuat tenaga. Aaaaaah... Sampai akhirnya ia mendapatkan dirinya diguncang-guncang si Bibik. "Den, Den, ada apa? Pindah ke kamar, Den!" Andi terbangun. Dan langsung melonjak duduk. Sesaat ia belum sadarkan diri. Lalu menghela napas lega. Uh, untung! Ternyata cuma mimpi. Tapi ia mendapatkan dirinya dibasahi peluh. Sementara siaran tivi nampak udah abis, tapi masih tetap menyala. Sudah jam dua belas! Lama sekali ia tertidur. "Aden t­adi seperti mengigau," ujar si Bibik sambil mematikan televisi. "Sop hisit-nya mau diangetin lagi, Den?" , "Enggak usah, Bik. Kenyang." Andi ngeloyor ke kamar mandi. Ia paling gak betah masuk ke kamar tidur tanpa mandi dulu. Ia pun menyalakan keran air anget. Dan beredam. Tapi begitu inget mimpi barusan, ia buru-buru bangkit lagi dari bed-kap-nya, dan ngibrit ke kamar. Tapi di kamar Andi gak bisa langsung tidur. Mimpi menyeramkan barusan masih sangat membekas di benaknya. Ngeri juga Andi ngebayangin mimpi itu. "Bagaimana nih kalo setan itu bener-bener tau nomor telepon saya?" pikirnya sambil menebar selimut tebalnya ke seluruh tubuh, sampe kepalanya gak keliatan. Brrr, tumben AC kamar malam ini jadi dingin banget. Andi bener-bener ketakutan. Ia merasa seolah setan perempuan itu berada di sampingnya. Ikut tiduran. Wah! Gawatnya, pas lagi serem-serem, tiba-tiba telepon di sebelah ranjangnya berdering nyaring. Kring!!! "Ha?" Andi terlonjak kaget. Seluruh tubuhnya serasa kaku. Ah, ini pasti cuma mimpi. Mimpi buruk yang kayak tadi. Andi berusaha menyangkal, dan mencubit lengannya. Wao! Kok sakit? Berarti ini bukan mimpi! Kringgg!!! Ah, ini mimpi! Andi berusaha menyangkal lagi. Kali ini sambil coba-coba membenturkan jidatnya ke pinggiran tempat tidur. Hasilnya? Benjol! Kalo gitu ini bener-bener bukan mimpi! Kringgg!!! Hati Andi makin ciut. Ia merapatkan selimutnya. Kriiinggg! Telepon itu bener-bener meneror perasaannya. Gawat, akhirnya setan itu bener-bener tau nomor telepon gue, batin Andi. Ah, tapi setan mana bisa nelepon? Itu bukan setan! Bukan! Andi berusaha menguasai perasaannya. Ia harus berani. Tadi sore udah meleceh temen-temennya, masa sekarang takut? Kringg! Ah, tapi kalo bukan setan, lalu siapa orang yang begitu nekat nelepon kemari malam-malam begini? Padahal sudah hampir setengah satu! Kring! !! Aduh, kok telepon itu bunyi terus, sih? Andi nyaris putus asa. Ia bener-bener merasa diteror. Sampe ia pun punya pikiran nekat. "Gue harus angkat telepon itu. Setan kayak apa sih yang berani mengganggu gue? Dikira gue takut, apa?" tekad Andi. Dengan keberanian yang dipaksain, Andi menyambar gagang telepon itu. "Hei, Setan buduk! Apa sih maumu mengganggu ketenteraman orang?" maki Andi seketika. Tapi yang terdengar di ujung sana malah suara orang terperanjat. "Hei, Andi. Apa-apaan sih kamu? Malem-malem begini kok memaki- maki kayak gitu?" Andi gelagapan. "Eh, ini siapa?" "Mama." "Ha? Mama?" "Iya, Mama. Maaf malem-malem begini baru telepon. Mama gak bisa pulang malam ini. Nenek diinfus lagi. Tapi sekarang udah mendingan. Mama harus menunggui di rumah sakit. Papa ada di sini menemani Mama. Udah, ya? Selamat bobo. Besok sarapan sandwich aja. Si Bibik udah Mama pesenin." "Eh, Mama kapan pulang?" "Wah, kok jadi manja amat, sih? Mama pulangnya tergantung Nenek. Kalo besok udah bisa ditinggal, ya Mama pulang. Udah, ya?" Telepon terputus. Andi bernapas lega. Sejenak kemudian Andi inget belum salat Isya. Ia pun buru-buru ke kamar mandi untuk wudhu. *** ­Besok malamnya, ternyata Andi sendiri lagi di rumah. Telepon dari Bogor mengatakan Nenek belum bisa ditinggal. Papa juga abis pulang kantor, langsung ke Bogor lagi. Suasana sepi mencekam di rumah kembali mempengaruhi perasaan Andi. Axl Rose yang melenggak-lenggok di video tak mampu mengusir sepi. Ya, tadi pagi anak-anak masih cerita tentang telepon setan itu. Katanya, kalo kita putar nomor itu, cewek di ujung sana langsung bisa tau siapa yang menelepon. Dan kalo ada yang mau ketemu sama dia, tiba-tiba aja tu setan udah duduk di samping si penelepon. Ada juga yang disuruh ke garasi mobil, dan si setan menunggu di dalam mobil yang lampunya menyala dengan sendirinya. Pokoknya aneh-aneh bener kejadiannya. "Dit­lik dari angka depan telepon itu, menandakan daerah pinggiran Ciputat yang angker. Yang jauh di tepi kota," ucap Rob. "Gosip selalu ditambah-tambahi!" maki Andi pada Rob yang paling semangat kalo cerita. "Tapi ini bener, kok. Kalo kamu gak percaya, telepon aja nomor itu. Coba!" tantang Rob. Saat itu Andi cuma mengangkat bahu. Andi seperti ditantang, sekaligus dicemooh. Dan malam ini Andi dilanda dilema. Antara mau membuktikan omong kosong Rob itu, dan rasa takut kalo emang itu bener. Berjam-jam Andi berperang dengan perasaannya. Pukul sebelas malam. Andi masih ragu di kamarnya. Telepon atau jangan, ya? Pukul dua belas malam. Ah, lebih baik gak usah cari gara-gara, batin Andi sambil menarik selimutnya. Pukul dua belas lewat dikit. Kalo gak dibuktikan, rasanya Andi penasaran juga. Dia bakal gak bisa membantah ucapan Rob besok pagi. Ia akan kalah, karena gak berani mencoba. Di pikiran Andi berkecamuk perang yang hebat. Telepon. Jangan. Telepon. Jangan. Andi pun berdoa. Percuma sering sembahyang, kalo ngadepin begituan aja takut. Dengan hati yang dimantepin, ia pun memutar nomor yang sempat menghebohkan itu. Hening. Hanya suara detak jam dinding dan napas Andi yang memburu. Nah, terdengar nada sambung. Perasaan Andi tak menentu. Telepon diangkat. Wajah Andi pucat pias. Apalagi setelah mendengar suara cewek mendesah di ujung sana. Tapi didorong keyakinan dan tekadnya, Andi mulai berani ngomong. "7490539?" "Betul. Kamu bicara sama Klara sekarang ini," jawaban di ujung sana menghadirkan misteri dan kengerian. "K-klara? K-klara siapa?" "Klara Karolina. Emangnya kenapa?" "K-kamu... k-kamu... b-betulkah kamu setan yang s-sering mengganggu i-itu?" Terdengar suara cekikikan. Andi gemeteran. "K-kamu s-sundel bolong, ya?" Kembali terdengar suara cekikikan. Ludah Andi tersekat di tenggorokkan. ­"A-apa sih maksud k-kamu mengganggu manusia? A-apa k-kamu mati penasaran?" Tawa cewek itu makin keras. Andi kian gelagapan. Tapi hatinya udah telanjur nekat. Maka Andi terus bicara, "S-saya minta kamu jangan bikin resah masyarakat. K-kalo kamu mati penasaran, biar nanti kami yang masih idup akan mengurusnya. Tapi bilang dulu, kamu mati karena apa? Kamu dibunuh? Apa waktu dikubur kain kafan kamu belum dikendurkan, dan belum diadzankan?" Dan cekikikan cewek itu kini berubah jadi tawa yang terpingkal-pingkal. "Kamu ini siapa sih?" tanya cewek itu setelah tawanya reda. "L-lho, katanya k-kamu pasti tau siapa yang menelepon!" "Kata siapa?" "Kata anak-anak...." "Enggak. Kamu siapa, sih?" "Saya Andi." "0, Andi. Aduh, Andi. Kamu ini apa-apaan, sih? Kamu menelepon saya malam-malam begini, dan tanpa ujung-pangkal nuduh saya udah mati. Mati penasaran, lagi! Emangnya begini, ya, cara kenalan yang baik? Dan lagi, dari mana kamu tau nomor telepon saya? Ayo, nyolong buku telepon saya, ya?" Andi bengong. "J-jadi, kamu bukan setan?" "Siapa yang bilang saya setan? Jahat, ih!" "Temen-temen." "Gokil, ah!" . "Tapi kenapa kamu meneror temen-temen saya?" Andi makin penasaran. "O, gini ceritanya. Mulanya saya gak punya maksud begitu. Saya kan baru pindah ke Jakarta ini. Saya gak punya temen. Secara iseng, lalu saya telepon sembarangan aja. Maksudnya mau cari temen, gitu. Eh, orang yang saya telepon itu kayaknya ketakutan banget. Emang salah saya, sih. Neleponnya malem-malem. Mana suara saya serem, lagi, katanya. Ya, abis saya suka susah tidur malem. Nah, sejak itu jadi muncul gosip tentang telepon setan. Padahal itu telepon saya. Saya denger kok cerita itu. Gawatnya saya jadi seneng juga dengan permainan ini. Saya butuh hiburan. Jadi saya goda aja mereka. Abis aneh, zaman sekarang kok masih percaya yang begituan. "Tapi saya salut ama kamu, An. Kamu berani. Makanya saya buka kartu aja ke kamu." "Jadi kamu bukan setan, ya?" ­"Kamu kali yang setan." "Nama kamu siapa tadi?" "Klara." "Kamu kesepian, ya?" "Saya belum punya temen, nih." "Kalo gitu, boleh dong kita temenan?" "Wah, boleh banget!" "Saya main ke rumah kamu, ya?" "Boleh." "Kapan?" "Sekarang juga boleh." "Jangan sekarang, dong. Nanti kamu setan beneran, lagi. Saya takut dicekek. Ini kan udah menjelang pagi. Gimana kalo besok aja?" "Oke." Gadis di ujung sana memberikan alamat rumahnya. "Udah, ya? Sampe besok. Daaag..." Andi pun meletakkan gagang teleponnya seraya tersenyum lega. Besok ia akan meledek si Rob. Weee, telepon setan ni ya! ­6. Lines ­ADA gosip gawat yang melanda Olga. Dia dibilang lesbian! Wih, bener-bener keterlaluan. Bagi Olga daripada dikira lesbian, mendingan les ngetik. Sebab bisa bikin jari lentik. Hihihi. Gosip ini mendera Olga dikarenakan dia keliatan lengket banget sama sobatnya, si Wina itu. Padahal kan kelengketan itu cuma karena mereka emang cocok dalam hal rumpi-merumpi. Artinya, Wina tuh anaknya enak kalo diajak ngegosip oleh Olga. Olga juga begitu. Sementara bagi anak seumur-umur mereka, ada pepatah: tiada hari tanpa gosip. Artinya lagi, Olga dan Wina jadi keliatan sering berdua-duaan, karena mereka memang haus gosip. Gak ngegosip sehari, bisa repot. Gossip is the sip! Tapi, lagi-lagi, kini giliran Olga yang kena gosip. Olga jelas kaget setengah mateng (emangnya telor!) dengar gosip kayak gitu. Karena sebelumnya dia gak berpikir sama sekali bakal dituduh begitu. Akibatnya, rada gawal. Beberapa temen sekelasnya, terutama yang cewek-cewek, jadi pada ngejauh kalo dideketin Olga. Lebih-lebih lagi kalo Olga mau membisikkan sesuatu, disangkanya mau mencuri cium. Padahal saat itu Olga lagi punya bocoran soal matematik. Ah, tentu aja bakat Olga menyebar informasi jadi terhambat. Di dalam kelas Olga emang ada kebiasaan kalo dapet soal bocoran mesti disebar ke setiap anak dengan cara bisik-bisik. Selain anak-anak jadi pada gak mau dibisikin Olga, Olga juga jadi jarang dikasih bisikan. Gawat, ini bisa mempengaruhi masa depan! Olga kaget, Wina apalagi. Wina dengan polosnya malah nanya sama Olga, "Eh, kita kan gak lesbi, ya?" "Ya, enggak, dong. Gila apa lo!" "Terus kenapa ada gosip kayak gitu?" "Pasti ada yang sirik." "Di mana?" "Lho, kok di mana, sih? Siapa gitu, bego!" "Sori,Ol. Ya, begonya itu di mana?" "Kok di mana lagi, sih? Maksud gue kenapa kita dituduh lesbi, karena ada yang sirik sama kita!" ­"Di..." ­"Di mana lagi! Gue gampar lo!" "Maksud saya diapain ya, yang nyebar gosip itu, Ol?" "Kita jangan bertindak dulu. Mending kita cari, siapa yang sirik itu. Kalo feeling saya... " "Di mana?" "Apa-apaan sih lo, Win?" "Lho, kamu kan ngomongin feeling, toh? ah, feeling kaleng atau feeling beling? Dan di mana?" "Itu sih piring, goblok! Yang saya maksud tuh feeling. Perasaan, gitu. Nah, perasaan gue orang yang paling suka sirik sama kita ya si Ucup. Ya, pasti Ucup yang nyebar gosip kayak dulu. Sebab tu orang biar cowok, tapi gawat. Dia sering nyebarin gosip gak bener." "Di mana? Eh, yang ini bener ya, Ol? Ya, di mana Ucupnya sekarang?" "Mending kita cari aja tu orang. Kita kasih pelajaran!" "Pelajaran apa?" "Pelajaran matematik, bego! Ya, pelajaran itu maksudnya kita damprat, gitu. Kok kamu sekarang jadi bego begini sih, Win? Apa kamu shock gara-gara gosip itu? Iya, Win?" Wina mengangguk lemah. ­Olga geleng-geleng kepala. Tapi sedetik kemudian Olga segera menyeret Wina untuk nyari si Ucup. *** ­Sementara Ucup yang tau dicari-cari Olga dan Wina, bukannya sedih, malah kegeeran. Lagian Ucup emang jarang-jarang banget dicari-cari cewek. Lebih-lebih oleh cewek semanis Olga dan Wina. Sekalinya pernah dicari ama cewek, yang nyari Mbak Sri, tukang kredit yang udah dua taon belon dilunasi kreditannya. Padahal Ucup cuma ngredit panci doang. Makanya wajar aja kalo sekarang ia begitu kegirangan. Hal ini diketahui Ucup waktu dibilangin tetangganya. "Cup, barusan ada yang nyariin lo, cewek kece dua biji. Kayaknya penting banget, abis pake ngintip-ngintip ke jendela segala." "Orangnya kayak gimana? Yang kemaren dateng, bukan?" "Bukan. Yang ini rada kecean. Yang atu anaknya begini-begini, yang atunya lagi begitu-begitu. " Dan Ucup ternyata emang bener-bener ditakdirin sebagai orang yang patut disebelin. Gimana Olga dan Wina gak sebel, waktu mereka nyari ke rumah, Ucupnya lagi ke warung Dicari ke warung, udah balik ke rumah. Besoknya dicari di Radio Ga Ga, Ucup-nya lagi kuliah. Ditungguin di tempat kuliah, Ucupnya ketiduran di mesjid kampus. Wah, kesannya sulit banget nemuin Ucup. Padahal Olga ama Wina udah ngebet banget pengen ngelabrak perjaka nyebelin itu. Tapi ternyata gak semudah yang dibayangin Olga dalam melabrak penyebar gosip. Buktinya pas ketemu Ucup, Ucupnya gak ngaku kalau dia yang nyebar gosip itu. Malah pake sumpah pocong segala. "Huu, gue sumpahin jadi pocong beneran, lho!" semprot Olga kesel. Olga ama Wina emang gak punya bukti kuat buat nuduh Ucup. "Mana buktinya kalau saya yang ngatain kamu lesbi? Ayo, mana? Gak ada, kan? Bilang aja kalo kamu emang pada mau ketemu ama saya, pake nuduh-nuduh segala." Akhirnya Olga dan Wina cuma bisa ngelus dada. Prihatin. Prihatin pada Ucup yang nyebelin karena gak ngaku, juga prihatin sama orang-orang yang mudah percaya pada gosip itu. "Zaman sekarang orang jadi serba salah. Pengen punya sobat dekat banget, malah dibilang yang enggak-enggak," keluh Olga. "Iya ya. Ol. Giliran orang yang berbuat enggak-enggak trus punya sobat deket malah gak digosipin," tambah Wina. Hal yang mendukung tumbuh suburnya gosip ini boleh dibilang karena Olga dan Wina sampe sekarang belon pada punya pacar. Padahal yang mau ngantri ampe panjang banget. Kayak orang yang ngantri ngambil formulir kredit rumah Perumnas. Mereka males pacaran karena menurut Olga dan Wina cowok sekarang pada rese. Suka kege-eran, serba mau ngatur, egois, pokoknya suka mau enaknya sendiri. Itu mereka denger dari nasib teman-temannya yang udah punya pacar. Makanya mereka jadi males pacaran. Mereka masih males diatur-atur sama cowok. Masih pengen bebas, lepas seperti burung. Tapi akibatnya ya begitu itu. Mereka berdua malah dituduh lesbi. Astagi! Amit-amit jabang baby! *** ­"Udah, Win, lo punya cowok aja deh!" itu akhirnya usul yang keluar dari mulut Olga untuk nyelamatin situasi. Olga dan Wina memang udah gak bisa menganggap angin lalu aja. Gosip itu udah nyebar luas sekali. Seluruh karyawan Radio Ga Ga, seluruh anak di kelas Olga, seluruh guru yang ngajar Olga, seluruh kantin yang sering diutangin Olga, seluruh cowok yang pernah ditolak. Olga, pada tau semua. Mereka tentu tak bisa cuek-bebek lagi. Gosip itu kian bikin panas telinga. Di mana-mana tiap orang liat Olga dan Wina langsung bisik-bisik. "Tapi kenapa harus gue yang punya cowok, Ol?" tanya Wina menanggapi saran Olga. "Iya, lo kan kalo ngeliat cowok kece dikit, langsung ribut. Pacaran sana, gih!" "Hm, tapi lo bantu nyariin ya, Ol." "Boleh." "Yang kece, Ol" "Ucup mau?" "Amit-amit!" "Somad bin Indun?" "Ih, kira-kira dong lo. Mendingan gue gak pacaran daripada sama doi. Koleksi lo kok cekak semua tampangnya? Yang kece dong. Donny DP, misalnya." "Iya, sih." "Tapi..." tukas Wina kemudian, "masalahnya apa ada cowok kece yang mau sama gue!" ­"Nah!" samber Olga cepat. "Di situlah masalahnya!" ­*** ­Pas di sekolah besoknya Olga masih nyaranin supaya Wina pacaran aja. Kebetulan di kelas dua ada anak yang kece. Mana anaknya kalem, keren, rambutnya model Tommy Page, lagi! "Lo, tenang aja di sini. Biar gue yang nyamperin dia," kata Olga pada Wina setelah Wina-nya rada suka ama tu anak. Tu cowok lagi diam di pojokan waktu Olga mencolek dan menyapanya. "Hai!" "Eh, hai, eh, hai... aduh kamu kok mo nyolek kita gak bilang-bilang dulu, iih. Idiih, saya sampe kaget, lho. Eh, ada apa situ nyolek-nyolek kita?" Hihihi. Olga jadi bengong. Gak nanggepin pertanyaan tu anak. Abis gimana mau ditanggapin, kalo ternyata dia... bencong! Hihihi. Susah juga ya, nyari cowok kece yang bisa dijadiin pacarnya Wina. Biar begitu Olga terus nyari-nyari. Ya, ini lebih baik daripada dituduh lesbi! ­*** ­Suatu ketika, pas Olga lagi khusuk-khusuknya ngaji, eh, siaran gitu, tau-tau Wina ngejedul di pintul studio. Padahal lampu on air masih menyala terang. Tentu aja siaran jadi terganggu. Olga sejenak menghentikan kocolannya pada anak-anak pendengar yang baru bangun dari bobo siangnya. Kaget melihal kemunculan Wina yang mendadak. Lalu kontan nyap-nyap sama Wina. "Wina, kamu apa-apaan sih?" jerit Olga. Dan para pendengar Radio Ga Ga siang itu jadi pada berjingkat kaget dari radionya. Wah, rupanya waktu nyap-nyap tadi Olga lupa matiin handle perekam. Jadinya bentakan dia nyasar ke mana-mana. Olga juga kaget pas sadar. Dan buru-buru bersori-dori-mori sama pendengar. Sementara Wina jadi senyum-senyum gak enak ati. "Gara-gara lo siaran gue jadi berantakan deh, Win!" kata Olga yang secara spontan menyadarkan pendengar bahwa kedatangan Wina sebenarnya merupakan bagian dari acara siaran. Lalu tanpa sungkan-sungkan Olga pun melanjutkan obrolannya dengan Wina, tanpa mematikan handle perekam. Cuma Mas Andre, si operator, yang jadi celingukan gak siap. "Maaf, deh, Ol," ujar Wina yang akhirnya sadar dan ikut-ikutan menetralisir suasana. "Emangnya ada apa sih, Win, kok lo keliatan excited betul hari ini?" ujar Olga seraya memberi isyarat agar Wina ngedeketin moncongnya ke mike sebelum ngejawab. Biar sekalian para pendengar ngedenger jelas obrolan mereka. "Gue udah dapet, Ol," kata Wina kemudian. "Dapet apaan?" Olga bertanya bingung. "Cowok." "Cowok?" "Iya, cowok," Wina berusah meyakinkan. "Kece, nggak?" "Jelas, dong. Nemunya aja di sampahan, eh, di Musro." "Sekarang di mana?" "Ada di depan. Tadi gue suruh bayarin somai." Bola mata Olga sekilas berbinar. Ia langsung melepas headphone-nya, lalu dengan sigap mengajak Wina berlarian ke depan. Mas Andre kontan terperanjat ngeliat tingkah laku Olga. Dan langsung menjerit-jerit, "Oiiii!!! Olgaaa, lo mo ke mana? Siaran belum rapi, tuh!" ­"Wah, tolong dirapiin sendiri deh, Mas. Ada kejadian penting nih!" jawab Olga seenaknya, sambil ngegubrakin pintu studio. Tinggal Mas Andre yang terbengong kebingungan di ruang operator. Untung ia cekatan juga. Setelah sadar apa yang terjadi, Mas Andre buru-buru masukin lagu Welcome buat menetralisir suasana. Mas Andre geleng-geleng kepala. "Dasar Olga!" kutuknya sambil misuh-misuh. Saat itu Olga yang udah nyampe di luar memang lantas ketemu sama seorang cowok keren yang lagi asyik ngobrol sama tukang somai. Nanya-nanya berapa penghasilan tukang somai dalam setahun. Kira-kira bisa gak buat beli baby-benz. "Adik emangnya tertarik?" tanya si tukang somai akhirnya saking sebel ditanya begitu. "Emangnya dari dagang somai beneran bisa buat beli baby-benz?" tanya cowok keren itu lagi. "Baru kata beli baby-benz, di rumah Abang ada sepuluh yang kayak gituan mah. Coba aja Adik sekali-sekali dateng." "Wah, asyik, dong, Bang." "Emang asyik. Mending situ jualan somai aja. Kayaknya potongan udah ada." ­Hihihi... Olga dan Wina yang sempet denger obrolan itu jadi ngikik. Si cowok keren menoleh. Kaget. "Eh, Wina, kok lama banget?" katanya. Tapi Wina sama Olga masih asyik ngerumpi. Bisik-bisik. "Gimana, Ol. Saik nggak?" bisik Wina penuh harap. Olga pura-pura meneliti dengan saksama. Bikin Wina harap-harap cemas. "Boleh juga," cetus Olga akhirnya. "Kece?" "Not so bad. Tapi, gimana cara lo ngegaet anak sekeren gitu?" tanya Olga penuh aksentuasi. Wina makin jumawa. "Ah, lo kayak yang gak tau aja siapa gue. Jason Donovan kalo ntar ke sini juga bisa gue tilep." Olga cembetut. Nyesel udah capek-capek muji si Wina. "Lantas, kapan lo jadinya sama cowok ini?" "Semalem. Gue lagi iseng diajakin tante gue jojing di Musro. Trus kenalan ama tu cowok yang kebetulan kenal baik sama tante gue. Wah, pokoknya sip, deh." Olga manggut-manggut. "Gimana kalo buat gue aja tu cowok?" "Enak aja!" Mereka berdua lalu buru-buru nyamperin tu cowok yang dari tadi udah salting berat karena diomongin. ­*** ­"Wina ada, Tante?" "Wah, gak ada, tuh. Tadi pergi sama Jordan. Emangnya ada apa, Olga?" "Ah, enggak kok, Tante. Iseng aja. Abis udah lama gak ketemu." "Iya, tu anak sejak kenai sama Jordan jadi pergi melulu. Gak kayak dulu waktu berteman sama kamu, Ol, Wina terasa lebih jarang di rumah." "Hihihi...," Olga ngikik, "Tante bisa aja." Olga meletakkan gagang telepon. Tapi setelah itu hatinya terasa sepi. Ya, udah sering kali Olga menelepon Wina, tapi tu anak gak pernah ada di rumah. Mainnya juga gak jelas ke mana. Wina udah jarang maen lagi sama Olga. Udah gak pernah nganterin dan nemenin kalo pas Olga dapet jatah siaran malem. Celakanya, Wina juga sering bolos sekolah. Tu anak kayaknya lagi kasmaran berat. Ya, sejak kenal Jordan, waktu Wina abis untuk dia. Olga merasa tersisih. Merasa dilupakan. Kalo Olga coba-coba ngajak Wina jojing di Ori, pasti Wina bilang udah ada rencana kencan sama Jordan. Kalo Olga minta Wina nganterin dia siaran, dengan janji bakal dijajanin nasgorkam, Wina menolak dengan mengatakan takut Jordan datang ngebawain koleksi kaset-kaset barunya. Pulang sekolah pun Olga jarang bareng Wina. Abis Jordan selalu udah nunggu di Wonder kuningnya Wina. Saban diajak ngerumpi, isi rumpian Wina pun selalu tentang Jordan. Makanan kesukaan Jordan, hobi Jordan, gaya jojingnya Jordan. Seolah-olah yang ada di dunia ini cuma Jordan. Ih! Emang sih, sejak Wina lengket dengan Jordan, gosip yang nuduh mereka lesbi jadi berangsur-angsur ilang. Tapi bersamaan dengan ngilangnya gosip itu, Olga merasakan hatinya sepi. Merasa kehilangan temen yang begitu baik. Yang begitu ngepas buatnya. Dan itu bikin Olga sakit. Buntut-buntutnya Olga jadi suka cemburu kalo ngeliat Wina yang gak di sekolah, gak di plaza, di jalanan, nempel terus sama Jordan. Bener-bener gak punya waktu buat Olga. Ih, tapi apa itu tadi? Cemburu? Olga bergidik. Tiba-tiba ia jadi je­gah sendiri dengan perasaan yang timbul itu. Kok cemburu sih? Apa benar Olga cemburu? Merasa kehilangan Wina, lalu kesepian melebihi kehilangan seorang teman. Lalu apa benar Olga emang... lesbian? Ih, amit-amit. Biar dikutuk jadi Debbie Gibson, gak bakalan deh begitu. Olga jadi merasa malu sendiri. Dulu ia sekuat tenaga nyariin jodoh buat Wina supaya lepas dari gosip, Tapi setelah Wina mendapatkan apa yang dicarinya, Olga kok lemah lagi? Dengan lesu Olga menyelesaikan siaran acara Diary-nya ma]am itu. Setelah pamitan sama Mas Andre, ia meninggalkan studio dengan wajah kosong. Olga menendang-nendang kerikil yang terserak di jalan. Sesekali menikmati kesiur angin malam yang mengoles rambutnya. Olga merasakan kesegaran menyusup. Kesegaran yang dingin. Dan Olga merasa jadi korban gosip. Ia menanggapi, dan kini tersisih. Olga ingin melupakan Wina. "Cuma kenapa jadi melankolis?" desah Olga sambil menatap lampu jalanan yang redup. Olga melanjutkan jalannya sambil menendang-nendang kaleng Coca-Cola. Suaranya berisik Olga agak terhibur. Sampe pas ia ngeliat seorang cowok yang ngelamun sendirian di atas jok motor RX-Z-nya. Mengisap Lucky Strike dalam-dalam. Kayaknya tu cowok abis diputusin ceweknya. Soalnya keliatan suntuk banget. Rambutnya berantakan. Olga menegur spontan. "Halo, sendirian aja? Anterin gue pulang dong!" Cowok itu tentu kaget ditegur cewek semanis Olga. Ia hampir melompat dari motornya. "K-kamu k-kuntilanak, ya?" tanya cowok itu penuh curiga. Olga jadi sewot. "Ih, enak aja kamu nuduh. Saya bukan kuntilanak, liat aja belakang saya gak bolong," kata Olga sambil berputar dan berbalik ala peragawati. Lalu tersenyum. "A-abis k-kamu siapa kalo b-bukan kuntilanak?" "Leak!" "Ha?" Si cowok kaget betul nada suaranya. Olga ngikik. "Kamu bego amat sih. Saya bukan kuntilanak, bukan leak. Tapi..." "Tapi siapa?" "Olga, penyiar kece Radio Ga Ga. Mau kan kamu nganterin saya pulang?" Si cowok masih setengah gak percaya, setengah girang. Ia seperti ngimpi waktu Olga duduk di jok belakang motornya, dan melontarkan senyumnya yang teramat manis. ­7. From Bali With Hurt ­RADIO GA GA sore itu lagi sepi. Ini gara-gara banyak penyiar pada cuti. Para penyiar di Radio Ga Ga emang suka pada centil. Kan anak-anak SMP sama SMA udah libur naikan lagi, eh, mereka juga minta libur dengan alasan turun-turunan. Hihihi. Maksudnya gini, mereka mau refreshing tapi mesti bareng anak-anak sekolah supaya bisa ikutan ngeceng dan cuci mata. Jadi waktu ada hari Lebaran, yang seharusnya mereka boleh cuti, malah pada ogah. "Cutinya nanti aja, ah, kalo pas liburan anak-anak sekolah," kata Ucup pas ditawarin cuti Lebaran. Ya, sore itu ketika Wina dateng ke situ nyaris gak ada siapa-siapa. Selain Olga yang lagi ngocol di kotak sabun eh, kotak siaran, ada Adin, Satpam baru yang tugasnya menginterogasi tamu. "Hei! Neng, Neng, Neng! Wuah, kayak bel istirahat. Maksudnya Neng ini mau ke mana mau ketemu siapa, dan dari mana datangnya lintah eh, maksudnya dari mana aja?" Wina yang dari kecil jarang ditegor Satpam, kaget setengah idup diberondong pertanyaan Adin. "Neng ini siapa dan dari mana mau ke mana?" ­"Saya Wina, dari rumah dan mau ketemu Olga!" "O, jadi sampean fans-nya Olga? Mau minta tanda tangan? Wah, nggak bisa tuh, Neng. Beliau lagi siaran dan nggak bisa diganggu gugat. Atau, Neng tunggu aja di sini sambil ngobrol-ngobrol sama saya. Saya kan belon pernah ngobrol sama sampean." "Apaan sih sampean, sampean. Emangnya judul lagu!" "Lagu apaan?" "We are the sampean, yes we are the sampean!" Wina menirukan lagu reggae We are the Champions. "Hihihi, Neng bisa aja. O ya, saya Adin, Satpam baru di sini. Tadinya saya mau ngelamar jadi penyiar Radio Ga Ga, eh, malah dibilang lebih pantes jadi Satpam." "Gini, Mas Ad..." ­"Ah, tak usah pake mas-masan. Panggil aja Bung Adin." "Gini, Bung... kusan, saya ini temen deketnya Olga!" "Lho, kok bungkusan, sih?" "Abis apa?" "Bung Adin!" "Hmm, gini bungkusan Adin, saya mau ketemu Olga sekarang juga." "Bung Adin!" "O iya, jadi gini Bung Adin yang kayak bungkusan, saya mau..." "Bung Adin, Bung Adin, Bung Adin, Bung Adin! Hik hik hik, Bung Adin, Bung Adin..." . "Iya, iya, Bung Adin. Udah dong jangan nangis. Eh, saya boleh masuk, kan, Bung Adin?" "B-boleh. Hik -hik hik, tapi Bung Adin ya, jangan lupa Bung Adin. Hik hik hik, ya Bung Adin, sekali Bung Adin tetap Bung Adin. Hidup Bung Adin...!" Dan pas sampe di dalam kotak siaran, Wina langsung menjerit kegirangan. Ini emang ciri khas Wina kalo ketemu Olga. Selalu menjerit. Gak peduli di mana aja, di pasar, di jalan, juga di dalam kotak siaran. Akibatnya para pendengar Radio Ga Ga pada jantungan. ­"Olgaaa...! Sip, Ol, gue diizinin liburan ke Bali!" Wah, Olga surprais banget. Soalnya Olga emang udah dari dulu pengen ngisi liburannya ke Bali. Olga bahagia. Saking bahagianya Olga lupa kalo lagi siaran. "Yang bener, Win? Wah, sukses, dong!" "Bener,Ol." "Oh, Bali, nantikanlah kedatangan seorang bidadari yang cantik dan molek ini. Aku pasti datang. I am coming!" "Hei,Ol, lo masih siaran, kan?" "Ya, amplop, gue ampe lupa. Eh, sori. Halo, para pendengar, sori banget ya. Abis saya udah lama banget mau ke Bali. Nggak taunya sekarang kesampaian juga. O ya, kalo di antara kamu ada yang mau nyumbang nambahin ongkos jalan boleh, kok. Kirim aja ke Radio Ga Ga. Beneran nih, saya tunggu, lho! "Dan sebelon kamu pada ngirim duit sumbangan, saya mau kasih lagu cantik dulu dari Lois Lane, It's the First Time. Supaya kamu bener-bener pada mau nyumbang. Daaag..." Olga emang ngebet banget mau ke Bali. Sampe-sampe dia bela-belain nyisain duit jajan dan honor siarannya. Dan yang paling penting Olga udah berhasil ngeracunin Papi dan Mami untuk menurunkan izin liburan ke Bali atas biaya sendiri. Papi yang dasarnya pedit setuju aja, selama itu gak ngerongrong duitnya yang selalu diumpetin di kaus kakinya yang bau. Sementara Mami ngasih izin karena diancem Olga dengan mogok nganterin senam ke fitness centre. Tentu Mami kelimpungan. Ya, Mami paling segen berangkat senam sendirian. Selain tempat fitness-nya jauh, Mami takut dikira ikut-ikutan mode. Makanya tiap datang fitness dan ada yang nanya, "Mau senam ya, Tante?" Si Mami selalu nepu dengan ngejawab, "Ah, enggak, cuma nganterin anak saya, kok." "Lho, kenapa nggak ikut senam sekalian aja, Tante?" "Ah, saya kan udah ibu-ibu, enggak pantes. Lagian saya malu." "Lho, kenapa malu. Daripada punya badan gembrot begitu kan mendingan ikutan senam Kalo bisa langsing yang seneng kan Tante sama bapaknya anak-anak." "Ah, bapaknya anak-anak malah seneng sama yang gembrot-gembrot, kok. Udah ya, saya mau senam dulu eh, sori, mau nganter anak saya senam." Padahal Olga paling males kalo disuruh senam. Di sekolah aja ampe sekarang Olga gak apal gerakan senam kesegaran jasmani. Dan di tempat fitness kerjaan Olga cuma baca-baca majalah. Kalo Mami? Wah, doi mah semangat banget nurunin berat badannya yang kayak balon itu. Eh, ngomong-ngomong soal balon, Mami kemaren pernah diajakin jaga stand di PRJ. Kebetulan stand batu baterai perlu banyak banyak balon buat menghias standnya. Hihihi, tentu aja Mami nolak. "Abis, bayarannya kecil, sih!" *** ­Besoknya Olga keliatan repot banget. Dia kayaknya mulai siap-siap. Tas besarnya udah diisi penuh dengan segala peralatan. Malah koper Papi yang biasa dipake kerja, dibajak Olga buat nempatin pakaian dalem. "Supaya gak gampang lecek, Pi." "Tapi Papi kerja pake apa dong, Ol?" "Pake tas belanjaan Mami kan bisa, Pi!" Eh, tapinya yang berangkat ternyata tiga orang. Olga, Wina, dan Jordan. Jordan ini cowoknya Wina yang dapet nemu di Musro. Olga agak kaget. "Biar ada yang jagain, Ol," alasan Wina waktu ditanya Olga, kenapa mesti bawa-bawa cowok. "Eh, Win, kalo niatnya cuma buat ngejagain kenapa gak bawa anjing herder aja!" Menurut Olga, pergi berduaan aja udah cukup. Tapi pas Wina ngebisikin kalo Jordan bersedia nombokin uang belanja dan nambah-nambahin uang jajan, Olga rela Jordan ikut. Lagian Jordan punya tiga jenis credit card yang mampu menjamin kalo seandainya pada keabisan uang di sono. Olga, Wina, dan Jordan sejak pukul enam pagi udah nongkrong di Bandara Soekarno-Hatta. Padahal pesawat yang berangkat ke Bali baru akan go public sekitar pukul sepuluh. Alasan Olga supaya lebih puas ngeliatin pesawat. Sebelon-sebelonnya Olga emang gak pernah liat pesawat kecuali pesawat telepon! Dan pas jam sepuluh tepat, Olga buru-buru masuk ke pesawat setelah nunggu di ruang tunggu dan dipanggil-panggil suara manja dari mikropon. "Wah, jangan-jangan itu bekas penyiar," tebak Olga demi ngedengar suara merdu itu. Di dalam pesawat tampak wajah Olga begitu berseri-seri. Dia sengaja milih kursi dekat jendela, biar bisa melambaikan tangan sama Papi dan Mami di rumah. Terus terang aja kenapa Olga mau liburan ke Bali, selain pengen tau Pantai Kuta dia juga pengen naik pesawat. Ini adalah kali pertama Olga naik pesawat. Saat mesin pesawat menderu siap melesat ke udara, Olga agak kaget. Gak disangka kalo mesin pesawat itu bunyinya kenceng banget. Olga pegangan erat-erat ke tangan kursi sambil pandangannya tak lepas dari jendela. Olga emang pernah denger cerita ada pesawat yang jatuh atau meledak saat mau meninggalkan landasan. "Selamat datang, para penumpang sekalian. Ini adalah pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan G 007. Pesawat ini dipimpin oleh pilot, bukan oleh masinis, apalagi oleh sopir bajaj. Jadinya keselamatan dan kenyamanan mudah-mudahan bisa lebih terjamin. "Kencangkan ikat pinggang eh, sori, maksud kami kencangkan sabuk pengaman Anda selama lampu masih menyala, dan dilarang merokok bagi yang tidak punya rokok. "Oke, selamat menikmati penerbangan ini dengan rasa waswas. Tapi jangan lupa berdoa, apalagi yang baru pertama kali naik pesawat. Ya, sampai jumpa lagi dengan saya. Terus terang saya males ikutan, maka saya cuma nganter sampai sini aja. Abis, menurut prakiraan cuaca di tipi semalem, cuaca di sepanjang Jakarta-Bali amat buroq, eh, sori, maksud kita amat buruk! Duaaag...." *** ­Tiba di Bali, mereka nginep di cottage yang lumayan asyik di daerah Pantai Kuta. Cottage yang gede, terbagi atas beberapa bagian, dilengkapi kamar-kamar yang terletak di lantai dua. Interiornya spesifik dengan ukiran dan lukisan yang bercorak Bali. Nggak lupa ada kolam renang di dekat bar kecil dengan air yang kebiruan. Olga suka banget. Taripnya juga rada mi­ring. Mereka segera memesan dua kamar di lantai dua. Mulanya cuma mau pesen satu kamar, Jordan diminta tidur di kamar mandi. Tapi dengan tulus Jordan menolak. Malah minta yang lebih. Tidur bareng mereka. Olga kontan sewot. "Enak aja!" tangkis Olga. Wina sendiri sebenernya setengah tertarik. Dan jadi keki sama sikap Olga. "Kenapa gak boleh, Ol?" Wina merajuk. ­"Nanti kalo terjadi hal-hal yang diinginkan, eh, tak diinginkan, repot, tau!" Suasana memang rada nggak enak sejenak. Untung akhirnya Jordan mau tidur di kamar yang terpisah. Acara pertama yang mereka lakukan adalah jalan-jalan di sepanjang Pantai Kuta. Olga memakai kacamata riben, rok jin ketat yang mini dan casual. "Wah, lo mau nyaingin bule, ya, Ol?" jerit Wina begitu liat penampilan Olga. Olga cuma tersenyum. Soalnya Olga sendiri merasa penampilannya itu belum seberapa dengan turis bule yang bersandal jepit dan non-bra. Mereka bertiga jadi serasa orang asing, soalnya di mana-mana terlihat bule. Yang keliatan senang dengan pemandangan itu, tentu aja Jordan. Matanya jelalatan ke mana-mana. Sementara matahari nyaris tenggelam. Menampakkan semburat merah di ufuk barat. Olga menghentikan langkahnya untuk menikmati sunset. Wina dan Jordan masih asyik menyusuri pantai. Mereka berdua keliatan akrab banget. Berjalan sambil berpelukan. Sesekali menendang gundukan pasir. Olga sampe suka gak enak ati ngeliatnya. Secara jujur Olga sebenernya keki pada mereka. Sikap Jordan sering kali sok-sokan. Gara-gara tu cowok, suasana liburan jadi kacau, maki Olga dalam hati. Akhirnya Olga lebih memilih menikmati suasana Kuta. Untung tingkah para bule yang sering aneh-aneh cukup bisa menghibur. Bule-bule itu memang pada gila-gilaan. Ngebut di pasir dengan motor trail sewaan. Atau ada juga yang mengendarai jip open kap. Hilir-mudik sepanjang pantai. Sementara di bagian lain, banyak pula bule yang rebahan sambil dipijit, atau rambutnya dikepang kecil-kecil kayak Ruud Gullit. Ada juga yang asyik berselancar. Mereka seolah menikmati Pantai Kuta yang memang nyaman. Olga juga menikmati. Tapi hatinya kembali keki kalo ngeliat kemesraan Wina dan Jordan. Olga merasa dirinya gak diperhatiin. ­"Mentang-mentang!" maki Olga keras di hatinya ketika kemesraan itu terus berlanjut di malam harinya. Wina dan Jordan jalan-jalan ke karaoke di seberang cottage mereka. "Kok gak ikutan, Ol?" tanya Wina ketika Olga memutuskan untuk tetap tinggal di cottage. ­"Gue mau istirahat. Capek!" Olga menjawab singkat. Pertanyaan Wina ternyata cuma basa-basi. Buktinya Wina langsung berangkat tanpa mempedulikan Olga lagi. Olga jadi kembali rusuh hatinya. Padahal malam itu sebenarnya bisa jadi asyik. Kehidupan malam di Bali ternyata jauh lebih hidup. Diskotek-diskotek kecil yang mulai menimbulkan suasana sumringah. Pub, butik, dan para pedagang dengan kiosnya yang menjual barang-barang khas dari Bali menambah warna suasana malam. Dan Olga melewati semua itu dengan membaca novel di beranda cottage. Sambil sesekali ngecengin bule yang malam-malam malah asyik berenang di bawah temaram lampu taman. Sampe larut, sampe Olga ngantuk, dan bule-bule gak ada yang berenang lagi, ternyata Wina belum pulang juga. Akhirnya Olga memutuskan untuk masuk kamar. Bobo. Antara sadar dan tidak, Olga mendengar suara bisik-bisik di pintu. "Ol, bukain pintu, dong...." Dengan malas Olga menuju ke gerendel pintu. Wajah Wina nampak letih. ­*** ­Esok paginya, mereka ngumpul di ruang makan yang terletak di tengah cottage untuk memesan makan pagi. Olga memilih roti bakar, selai, teh, dan telur setengah mateng. Wina cuma minta susu coklat doang. Sedang Jordan masih belon bangun. Padahal matahari Bali udah mulai menyengat. Dan pagi itu tidak menjadi pagi yang ceria. Setidaknya di mata Olga. Ya, Olga masih nyimpen perasaan gak enak sama Wina. Karena tadi malem Wina pulangnya malem banget. Olga takut ada kejadian apa-apa. "Win." "Ol." "Saya mau negur kamu, kamu gak usah ikut-ikut manggil saya, dong." "Sori, Ol." "Win." "Ya, Ol." "Nah, gitu kan asyik." "Ya, Ol." "Kamu ini apa-apaan sih, Win. Pake pulang larut malem segala? Kalo kamu kenapa-napa kan saya yang gak enak." "Orang saya cuma nongkrong di karaoke aja kok." "Ya, tapi kenapa pulangnya sampe malem!" "Karena saya kemaleman, Ol." "Saya juga tau kamu kemaleman. Nah, kenapa bisa kemaleman begitu." "Wah, kenapa, ya?" "Lho, kamu kok jadi bego begitu sih, Win. Semalem kamu pergi sama Jordan trus kenapa sampe bisa pulang malem?" "Mungkin keasyikan, Ol." "Asyik! Asyik! Eh, Win, saya ini teman kamu. Kalo kamu kenapa-napa saya ikut nggak enak. Lagian kamu kan orang nggak pernah pulang malem kalo pergi-pergian." "Tapi saya pernah pulang pagi, Ol, waktu malem taon baru." "Itu sih bukan urusan saya! Yang jelas saya cuma mau ngingetin kamu. Kalo kamu masih badung juga, terserah!" Wina dibentak begitu langsung mingkem. Buntutnya Olga jadi gak enak. Ya, sebetulnya Olga cuma pengen nikmatin liburannya berduaan Wina. Mau hura-hura sepuasnya, tanpa harus ada orang lain yang ikutan. Macam si Jordan itu, udah nebeng, pake bikin-bikin masalah lagi. Dan sebetulnya Olga mau ngajak jalan Wina tadi malem. Mau diajak menelusuri jalan-jalan sekalian makan sea-food. ­Olga juga punya niat ngajak ngomong para bule untuk ngelancarin bahasa Inggris-nya. Dan nyewa sepeda pada keesokan paginya sambil muter-muterin tempat wisata yang ada. Tapi dengan adanya Jordan, harapan Olga pupus begitu aja. Wina gak bisa diajak gila-gilaan seperti biasanya. Karena ke mana Wina pergi, Jordan ada melulu. ­*** ­Hari kedua, Olga dan Wina terpaksa mencar. Soalnya selera mereka udah mulai gak kompak. Olga pengen liat tari-tarian di Sukawati, sedang Wina ngotot mau berduyungson-ria berjemur di pantai. Cuma itu melulu yang dilakukan Wina dan Jordan selama dua hari ini. Olga mulai ngaco lagi hatinya. Olga akhirnya berangkat sendirian ke Sukawati. Sedang Wina sama Jordan udah cabut sejak tadi. Sebelumnya mereka sempat janjian bakal ketemu sore nanti di Tanah Lot. Ngeliat sunset. Tapi pas jam lima Olga nyampe Tanah Lot, Wina sama Jordan gak ada. "Aduh, gimana sih janjinya tu anak?" Olga bersungut-sungut, sambil meniti ke atas karang. Nunggu sampe rambutnya keriting. Sampe akhirnya Olga cuma bisa duduk terbengong nungguin sunset bersama para bule yang udah siap dengan kameranya. Di saat hatinya mulai suntuk, untung ada bule P­rancis muda yang bisa dikecengin, dan neme­m Olga ngobrol. Tapi karena pada gak ngerti bahasa masing-masing, ngomongnya p­kee bahasa isyarat dicampur bahasa Inggris dikit-dikit. Dan Olga sempat dibikin keki waktu si bule nanya-nanya aktivitas Olga. Olga menerangkan dengan gerakan tangan yang maksudnya penyiar. "0, jadi Anda petani, ya?" tebak si bule itu mantap dalam bahasa Inggris. Olga tentu aja ngamuk-ngamuk. "Bego amat sih lo!" maki Olga keras. Lucunya si bule malah tersenyum manis. Mungkin mengira Olga bilang dia ganteng. ­*** ­Hari itu Olga dan Wina udah berada dalam pesawat lagi menuju Jakarta. Jordan tak menyertai mereka. Terasa kemurungan yang mencekam. Wina nangis sesunggrukan. ­Ya, terpaksa masa liburan dipercepat. Semua ini gara-gara Jordan. "Maap ya, Ol, saya merusak acara liburan kamu," kata Wina dalam sendat. "Ah, enggak kok, Win. Tapi ada kejadian apa sih sebenarnya?" Olga berusaha menenangkan Wina. "Dasar Jordan keparat!" emosi Wina timbul lagi. "Si Kol Gepeng itu makin lama makin ngelunjak. Kemauannya makin yang enggak-enggak aja. Dia sebetulnya merasa terganggu kamu ikut dalam liburan ini, Ol." "Dia ngomong begitu?" "Itu belum seberapa. Ada yang lebih gawat lagi. Masa dia ngajak 'begituan'!" "Ha?" Olga bengong. "Terus lo mau?" "Gila apa? Tentu aja gue tolak. Tapi ternyata itu bikin si Kol Gepeng itu sewot. Omongannya jadi kasar banget. Akhirnya dia pergi ninggalin gue. Gue dibilang perek. Gue sakit ati betul, Ol. Udah gitu, dia sengaja manas-manasin gue dengan bawa-bawa bule, dan nggak pulang semalam." Olga bergidik. "Lupain aja cowok kayak gitu!" "Saya sebetulnya cinta mati ama dia, Ol," ujar Wina mulai tenang. "Saya berharap dia bakal menyayangi saya selama-lamanya. Tapi tingkahnya bener-bener bikin hati kecewa." ­"Ah, udah, deh. Cowok kayak gitu bejibun. Modal tampang doang, tapi moralnya kacau." ­"Iya, Ol. Saya nyesel gak denger saran kamu untuk berlibur berdua aja." Wina mulai agak tenang. Merenung menatap awan di luar jendela. Seorang pramugari membagikan kotak makanan. "Win, saya selalu ingat ada sebuah kata bijak dari Barat," Olga kembali bersuara sambil menaburkan krim ke dalam kopinya. "The people you love most are in the best position to hurt you. Orang-orang yang paling kamu cintai, berada dalam posisi yang tepat untuk menyakitimu. Kamu tau maksudnya, Win?" ­Wina menggeleng. "Artinya, kita jangan terlalu berharap banyak dari orang lain. Jangan terlalu mencinta orang lain. Sebab mereka-mereka yang amat kita cintai, akan dengan mudah menyakiti kita. Mempermainkan perasaan kita. Dan kita cenderung menyerahkan segalanya pada orang yang kita cintai. Saya gak mau begitu, Win. Makanya saya selalu membatasi diri untuk tidak memberi sepenuh hati saya kepada orang lain. Saya gak rela kecewa, Win." Wina terdiam, Lalu memeluk sobatnya erat-erat. "Makasih atas nasihat kamu, Ol." "Kamu mau ngelupain Jordan, kan?" "Saya malah benci dia, Ol." "Jadi status kamu sama dia udah putus, kan?" Wina mengangguk. "Kalo gitu minta nomor telepon Jordan, dong!" "Buat apa, Ol?" Wina terperangah. "Siapa tau setelah putus dari elo, dia ada minat sama gue." jawab Olga enteng. Wina bengong. Lalu berter­ak, "Olga gombal, jangan macem-macem lo, ya!" Keduanya lalu ngikik berbarengan. Keras banget. Membuat seisi pesawat menoleh ke arah mereka. ­8. Anak Pesan-trend ­HEI, ini kisah terjadi pas bulan puasa. Gini. Biasanya tradisi setiap bulan puasa, pas libur, sekolahan Olga bikin pesantren kilat selama dua minggu. Kegiatannya memang diadakan di sekolah, yang oleh panitia setiap kelas diubah menjadi seperti barak-barak tentara. Supaya tiap anak yang mo ikut gak terlalu bayar mahal. Dan siapa aja, yang beragama Islam tentunya, boleh ikutan. Nah, sebetulnya Olga dan Wina gak begitu minat ikutan. Bukannya males nabung buat bekal ke surga. Bukan. Olga dan Wina gak minat ikut lantaran udah bosen ngeliat sekolahan. "Iya, andainya tu pesantren dibikin di dalam diskotek kan asyik bisa sambil dengar musik," ujar Wina. "Hei, dasar kapir lo. Masa bikin pesantren kilat di diskotek. Ada-ada aja. Kan lebih asyik kalo dibikin di tepi pantai. Bisa liat ombak," bentak Olga. Tapi dua anak yang konon kece itu selain emang udah empet liat sekolahan, mereka berdua merasa gak enak kalo pas saur gak di rumah. Kan males harus masak sendiri. Pikir Olga, mau bangun aja udah untung, ini malah pake disuruh masak segala, lagi! Tapi tau kenapa, mami dan papi Olga ketika melihat brosur undangan pesantren kilat itu serta-merta langsung nyuruh Olga ikutan. "Aduh, Mami gimana, sih? Olga kan nggak minat. Kata Mami, Olga gak boleh ikutan kegiatan apa aja kalo kitanya gak minat. Seperti waktu Olga mo ikutan panjat tebing pake sepatu roda." "Itu lain, Olga. Yang ini kamu wajib meminati. Ini kegiatan rohani. Kalo panjat tebing kan kegiatan orang-orang yang di masa kecilnya gak boleh manjat-manjat pager artinya itu kan kegiatan jasmani. Mesti ada keseimbangan, dong." "Tapi kalo sampe dua minggu tidur dan nginep di sekolahan, Olga benar-benar ogah!" "Untuk melatih disiplin, Olga. Juga untuk memudahkan pemberian materi." ­"Olga, kan udah disiplin. Olga juga sering sembahyang kalo waktu sembahyang." "Pokoknya kamu harus ikut." "Ogeng." "Biar kamu gak jadi anak setan, Ol." "Anak setan?" "Iya." "0, jadi Mami setannya." "Tu kan. Kamu masih suka meledek orangtua, kualat tau. Nanti kamu di pesantren kilat itu bakal dikasih tau kalo meledek orangtua itu dosa." "Kalo meledek orang muda?" "Ya, dosa juga." Mami meletakkan brosur undangan itu di atas bufet. "Olga, kamu Mami suruh ikut begituan biar tingkah kamu nggak terlalu gila-gilaan. Papi juga udah setuju, asal biayanya ditanggung kamu sendiri." Olga mulai diam. Diam belon tentu setuju. "Ayo, udah. Ikut aja. Kamu kan sebagai orang Islam harus ngelancarin ngaji kamu. Lagian mumpung bulan puasa, kamu banyak-banyaklah berbuat amal. Ya, moga-moga diterima di sisi Tuhan. Amien!" Mami terus mendesak. Padahal Olga udah berdiri di pojok. "Baiklah, Mi. Tapi dengan catatan..." ­"Catatan apa?" "Catatan si Boy!" Mami bengong. Tapi Olga akhirnya mau juga. Itung-itung nambah amal. Itung-itung cari suasana baru. Daripada kelaperan puasa di rumah ada baiknya. ikut pesantren kilat. Olga mulai sadar. Satu kali dalam hidup, kita kudu berbuat sesuatu untuk Tuhan. Bukan melulu mikirin untung-ruginya untuk diri kita sendiri. Gak baik kan mikirin kesenangan duniawi aja. Dasar Olga. Untuk menunaikan niatannya ikut pesantren kilat aja, ia perlu teman segala. Ni anak kalo mo ngapa-ngapain mesti selalu pake temen. Jalan-jalan kek, siaran kek, yang berani dilakoni sendiri paling kalo dia kebelet mo ke kamar kecil guna buang air besar-besar. Dan ia pun, seperti yang sudah kamu terka, mulai ngerayu Wina untuk ikutan. Tapi Wina ogah. Masalahnya dia udah punya rencana khusus dalam mengisi liburan panjangnya itu. Wina pengen ngelancarin kursus mengetik komputer 12 jari. Pake jari jempol kaki segala. Alasannya buat cadangan kalo-kalo jari-jari tangannya yang lentik itu pada pegel. Wina memang punya cita-cita pengen jadi sekretaris yang baik. Tapi Olga bukan tipe anak yang gampang putus asa. Olga terus merayu dengan berbagai upaya. Diberinya Wina coklat. Diajaknya nonton. Dikasihnya cerita-cerita lucu. "Gue udah punya rencana belajar ngetik sih, Ol." "Kan bisa ntar-ntaran." Wina tetap ogah. "Eh, tu pesantren kilat juga bakal dimeriahkan oleh coboy MODE, Win. Inceran lo, si Somad, juga bakal dateng!" "Ah, bO'ong." Wina emang keras kepala. Kalo gak ya gak. Tapi Olga masih penasaran. Lagian kalo Wina ikutan juga, Olga ditanggung gak kesepian. Sambil belajar rnengaji Olga tetap bisa ngerumpi. Nggak berhasil ngerayu Wina, Olga melancarkan serangannya ke mama Wina. Olga mulai menghasut. "Benar, Tante, kalo Wina nggak ikutan pesantren kilat, dia bisa gak lulus pelajaran agama. Kan malu banget, Tante, masa iya pelajaran agama aja gak lulus. Ntar dikira Tante gak bisa ngajar anak dengan baik." Mama Wina jelas terpengaruh. Upaya Olga mulai keliatan hasilnya. Dan besoknya mama Wina mulai maksa-maksain anaknya buat ikut pesantren. "Mama apa-apaan sih? Kan udah Wina bilang liburan ini mo Wina gunain buat ngelancarin ngetik komputer," tukas Wina, protes atas kebijakan mamanya. "Ngetik komputer mah gampang. Kapan aja bisa!" Akhirnya walo terus misuh-misuh, Wina ikut pesantren juga. Nah, dasar mereka adalah anak-anak centil, jadinya susah banget menyatu dengan disiplin yang diterapkan. Apalagi pas di hari pertama keduanya kebagian piket masak saur. Aduh, tersiksanya. Bayangin aja, biasanya kalo di rumah, tinggal dibangunin dan tinggal makan aja susah. Nah, ini Olga dan Wina selain dipaksa bangun tengah malam mereka mesti nyiapin hidangan saur buat 50-an anak. Akibatnya jelas runyam. Olga dan Wina yang diwanti-wanti Pak Ustad agar bangun jam dua pagi, baru bisa bangun jam empat lewat banyak. Walhasil masaknya keburu-buru dan anak-anak lain cuma punya waktu sepuluh menit doang untuk makan saur. Mana tu masakan amburadul lagi rasanya. Hasilnya sepanjang pagi itu Olga dan Wina jadi diasemin wajah sama anak-anak yang lain. Tapi yang patut kita banggain adalah perubahan Olga dan Wina yang jadi mendadak alim. Mereka rajin sembahyang, rajin baca Al-Quran, rajln denger ceramah. Bayangan buat ngerumpi-ria gak keliatan. Apa karena ustad dan ustadzahnya yang streng banget atau karena tu anak udah pada mo sadar, wallahualam. Tiap malam, pas mau tidur, para ustad dan ustadzah memang selalu mencek ke kelas. Mereka diawasi ketat. Takut kalo-kalo ada yang ngilang. Sayangnya yang namanya Olga dan Wina cuma di hari pertama-pertamanya doang bisa betah tiap malem tidur dengan manisnya di kelas. Seperti kamu tau, lama-lama tu anak benar-benar gak betah. Terutama pas malem Minggu. Olga dan Wina pengen rasanya ngeliat dan jalan-jalan di dunia luar yang serasa udah berabad-abad mereka tinggalkan. Dan benar aja. Mereka berdua malah tengah ngerencanain untuk kabur sejenak. Pas selesai ngaji, selesai baca-baca doa, semua anak-anak diperbolehkan masuk ke kamar kelasnya masing-masing. Olga dan Wina segera memutar otaknya. Dengan akal kadalnya mereka menutup bantal guling dengan selimut biar saat pemeriksaan nanti dikira udah pada tidur pules. Tapi, manakala mereka hendak loncat ke luar jendela terdengar ketukan dari luar. "Assalamualaikum..." ­"Hmm, sudah tidur!" teriak Olga dan Wina bareng. "Sudah tidur kok menyaut?" "Kan ditanya." "Kalo disapa jawaban yang benar bagaimana?" "Waalaikumsalam... dan sekarang sudah benar-benar tidur. Jangan diketuk-ketuk lagi, ya?" Mereka berdua mengendap-endap ke jendela. Tu jendela cukup tinggi. Jadi agak repot juga bagi Olga dan Wina untuk melewatinya. Benar aja, belon sampe kaki mereka hinggap di bibir jendela keduanya jatuh kepelanting. Bruk! "Hei, suara apa itu?" teriak pengawas dari luar. "A-anu, suara orang jatuh," jawab Wina. "Bukan! Itu suara bantal-guling yang jatuh," sangkal Olga supaya gak curiga. "Bantal kok keras?" "Iya, bantalnya kan ada dalam dekapan saya, Pak Ustad." "Ya, sudah. Pada tidur, sana. Nanti saur susah dibangunin, lagi!" Suasana hening sejenak. Tampaknya Pak Ustad sudah berlalu dari situ. Olga dan Wina berusaha kembali manjat jendela. Wina disuruh membungkuk, dan Olga naik ke punggungnya. Kali ini berhasil. Tapi untuk loncat ke luar agak kecut juga. Karena cukup tinggi. Ah, untungnya mereka sudah hapal doa keselamatan. Dan sambil berdoa agar selamat keduanya Ineloncat ke tanah. Meski begitu, kedua kaki anak itu tampak terkilir dikit. Jelas doa mereka gak terkabul. Olga dan Wina segera menuju pintu gerbang sekolah. Di sana penjagaannya lebih ketat. Dasar akal kadal, mereka mampu mengalihkan perhatian para pengawas di sana dengan menimpuk kerikil-kerikil ke tengah lapangan. Dan akhirnya lolos juga tu anak berdua! *** ­Beberapa menit kemudian, dengan menumpang taksi, mereka udah sampe di Bioskop Empire. Olga buru-buru antre karcis. Antreannya cukup panjang, tapi dengan merayu-rayu, dia bisa nitip karcis sama cowok yang lagi ngantre. Sambil menunggu jam masuk, dua cewek centil itu sempet-sempetin ngeceng. Di lobi emang banyak cowok kece yang pada mo nonton. Dan mereka berdua udah empat hari ini hampir nggak pernah liat cowok keren. Jadi maklum aja kalo Olga dan Wina buas banget melototin cowok-cowok itu. Pulang nonton, udah jam dua belas malem. Mereka kelimpungan sendiri. "Wah, gimana, Ol? Kita balik ke rumah aja, ya?" Wina keliatan cemas. "Hus, bisa gawat. Mending kita balik lagi ke sekolah. Siapa tau nggak ketauan," ujar Olga. "Iya, tapi ini kan udah malem banget. Kamu nggak ngebayangin lorong gelap dan panjang di balik rerimbunan pohon belakang sekolah itu?" "Ah, cuek. Ini kan bulan puasa. Setan-setan pada ditangkepin di neraka," Olga berusaha membesarkan hati Wina. Keduanya pun buru-buru pulang. Tapi sampai di pekarangan sekolah, hati Olga ciut juga. Di pekarangan belakang sekolah emang ada jalan setapak rahasia yang bisa nembus dari gang ke jendela kelas tempat mereka menginap. Tapi suasananya kalo malem begini minta ampun seramnya. Selain gelap, karena rindangnya pohon, mereka harus berjalan merunduk sampai ke dekat jendela. "Gimana, Ol, maju terus atau sebaiknya kita pulang aja?" "Ah, tadi berangkatnya berani. Tancap aja!" Olga berusaha membunuh perasaan takutnya. Keduanya berjalan merambat-rambat menuju jendela kelas. Wina memegang erat-erat tangan Olga. Olga makin kesulitan menatap jalan di depannya. Berkali-kali Olga tersandung akar pohon, dan jatuh. Wina juga ikut-ikutan jatuh bergulung-gulung. Tapi udah kepalang basah. Dua cewek centil itu maju terus. Wina sampai mau pipis saking takutnya. "Gue kapok, deh, Ol. Nggak mau kabur-kabur lagi. Akibatnya sengsara," Wina mulai menyesal. Olga diem aja. "Ol, kamu kok gak nanggepin omongan saya?" colek Wina ke pundak Olga. Olga tetap diam. "Ol, kamu kok diem aja, sih?" Wina makin cemas. Tiba-tiba Olga menoleh sambil bersuara aneh, "Saya bukan Olga. Saya adalah..." "Waaaaa!" Wina menjerit kaget. Olga langsung menutup mulut Wina. "Ssst! Bego, lo. Ntar pada bangun semua tuh!" Wina langsung meninju perut Olga. "Elo juga, sih. Bikin gue merinding!" Olga lantas menarik tangan Wina yang masih gugup. Nyesel juga dia bikin Wina shock berat gitu. Tapi tiba-tiba aja tercium bau yang kurang sedap. Dari arah depan. "Bau apa, nih, Ol?" suara Wina terdengar bergetar. "Lo kentut, ya?" "Enak aja. Ini bukan bau kentut. I­i... ini bau apek. Bau kembang orang mati.... " "Ha?" Wina menomprok Olga. Mereka berdua jatuh bergulung-gulung. Dan makin kaget ketika sekelebat bayangan putih nampak di depan mata mereka. Akhirnya sambil teriak-teriak nyaring, mereka berdua berlarian ke kelas. Dan tentu saja pas sampai, di setiap jendela kelas sudah penuh dengan wajah anak-anak yang menahan tawa. Lengkap dengan ustad dan ustadzah yang memasang wajah seram. Akhirnya bisa ketebak. Olga dan Wina dapet hukuman berat. Sepanjang malam Olga dan Wina begadang disuruh menyiapkan masakan buat saur. Selain mereka juga disuruh bershalawat sebelum akhirnya diceramahi sampai pagi. Kesalahan mereka berdua fatal. Pertama, kabur dari pesantren. Kedua, takut sama setan. Padahal kan udah diajarin agama. Ternyata emang setan dan bau apek itu bikinan anak-anak yang mau menghukum Olga dan Wina. *** Sejak peristiwa itu, Olga dan Wina jadi kapok. Dan sedikit demi sedikit bisa diatur seperti anak-anak lainnya. Mereka mulai menyukai suasana belajar di pesantren. Mulai akrab dengan teman-teman lainnya. Ternyata semua berawal dari hati dan niat kita. Kalo hati dan niat kita baik, kita pun akan menikmati apa yang tengah kita lakukan dengan baik. Merasakan nikmatnya berkumpul bersama untuk dapat mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi semakin mereka berdua suka suasana pesantren, keduanya semakin merasa sedih. Sebab tanpa terasa, pesantren kilat yang cuma dua minggu itu hampir selesai. "Kenapa justru akan berakhir saat kita mulai mencintai pesantren ini, ya, Ol," ujar Wina seusai salat tarawih. Olga cuma melamun. "Iya, dua hari lagi kita pada pisah. Saya juga sedih ninggalin temen-temen di sini dalam suasana kayak gini," ujar Olga sambil melipat mukenanya. "Eh, tapi denger-denger, sebelum pembubaran nanti, panitia bakal ngundang co-boy MODE ke sini, ya?" Wina tiba-tiba nyeletuk. Wajah Olga yang lagi sendu, tiba-tiba berbinar-binar. "Iya, Win. Betul." Ya, dan ternyata pada hari terakhir di sekolah, panitia memang ngundang co-boy MODE yang kece-kece. Wah, kontan anak-anak cewek pada menjerit histeris. Mereka bener-bener lupa kalo mereka tuh lagi ada di pesantren dan pada pake kerudung. Wina yang paling histeris menjerit, "Halo, cowok-cowok koper. Saya Wina. Godain kita, dong!" Ustad dan ustadzah, ngeliat kelakuan Wina yang kembali kanibal, mulai sebel lagi. Soalnya maksud panitia ngedatengin co-boy itu bukan buat jumpa fans. Tapi diskusi soal "Islam dalam Kehidupan Remaja". Ternyata sambutannya laen. Suasana berubah jadi jumpa fans. Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, akhirnya panitia melarang anak-anak untuk minta tanda tangan dan potret bersama. Dan acara dipercepat. Anak-anak kontan berteriak nggak puas. "Wah, kok udahan? Rugi kita," teriak Olga. "Tahun depan ikut pesantren kilat lagi ah. Siapa tau panitia ngundang co-boy lagi," harap Wina. Sepulang para co-boy itu, anak-anak jadi sedih. Soalnya udah pada mau pisah sama temen-temen yang udah senasib-sepenanggungan. Besok mereka sudah harus merencanakan perpisahan. Wina mengusulkan agar acaranya dilangsungkan di rumah peristirahatan Wina yang di Vila Duta, Bogor. Setelah melewati berbagai macam pertimbangan, akhirnya panitia setuju dengan ide Wina. Sekalian ngirit biaya, dibanding nyewa Balai Sidang. Pagi esoknya, anak-anak diperbolehkan pulang untuk membawa pulang baju-baju dan segala peralatan selama dua minggu pesantren. Sekalian ketemu ortu, dan minta doa restu. Tapi Olga jadi keki pas sampe ke rumah, ternyata si Mami lagi asyik latihan main sepatu roda barunya. Olga langsung menjerit, "Mamiiii!!! Itu kan sepatu roda baru! Nanti rusak. Mami kan gembrot!" Mami yang diteriakin, langsung menoleh dan berseru kangen ke Olga, "Aduuuh, Olgaaa. Mami sampe kangen mendengar jeritanmu. Apa kabar, Sayang?" Mami dengan gesit meliuk di atas sepatu rodanya, menghampiri Olga yang berdiri di ambang pintu dengan ransel dan peralatan lainnya. "Kangen, sih, kangen. Tapi sepatu rodanya dicopot dulu, dong! Ntar rusak," ujar Olga judes. "Mami lagi iseng, Ol. Abis bulan puasa ini nggak ada kerjaan. Jadi Mami latihan sepatu roda aja. Lumayan hasilnya, bisa menang kalo ngejar Papi lari pagi. Gimana pesantrennya? Asyik?" "Pokoknya lepasin sepatu roda Olga­" ujar Olga sambil ngeloyor ke kamar sambil menyeret ranselnya. Pas masuk kamar, teriakan nyaring itu terdengar lagi. "Aduuuh! Siapa yang make Ralph Laurent Olga sampe abis? Aduh, baju-baju Olga, lipstick Olga, Mamiiiiii!!!!" Mami di luar bukannya ciut, malah demen denger teriakan Olga. Ya, Mami emang udah kangen banget sama jeritan anak semata wayangnya ini. "Biar batal, batal deh. Abis gue sebel, sih, semua barang-barang gue dipake Mami!" beber Olga begitu nyamper Wina - di rumahnya. Tapi Wina nggak nanggepin. Saat itu dia lagi sibuk berat nyari kunci vilanya yang dia simpan waktu pas ngerayain ulang tahun bulan lalu. Dia merasa berdosa banget, karena tadi udah nyuruh anak-anak lain dan para ustad dan ustadzah berangkat duluan ke Bogor. Pasti udah pada nunggu. Mama Wina juga sempat nyap-nyap melihat keteledoran anaknya. "Makanya, kalo naro barang-barang penting jangan sembarangan!" tukas mama Wina terus-terusan ngomel. ­Bukannya ngebantuin nyariin, rutuk Wina dalam hati. Wina jadi semakin keriting. Olga yang nggak enak jadi ikut-ikutan nyari. Setelah satu jam nyari, ternyata Wina akhirnya sadar kalo kunci vila itu ada di rumah Tanre Rose yang di Hang Lekir. Wah, harus ngambil dulu ke sana. Sebenernya Wina males banget ketemu tantenya yang kayak beo itu. Soalnya kalo ke sana, pasti Wina dinasihatin macem-macem. Tapi karena ingat nasib anak-anak yang bakal terlantar, Wina jalan juga. Untung aja Tante Rose lagi pergi. Sepanjang perjalanan ke Bogor lewat tol, di dalam Wonder kuning Wina sama Olga ngerumpi. Sebel sama maminya masing-masing. "Gue juga sebel. Mestinya Mama nggak usah marah-marah, dong. Kan Mama yang ngasih pinjem kunci ini ke Tante Rose. Gara-gara pikun, gue yang kena getahnya!" sungut Wina. "Mana gue nggak enak sama anak-anak...." Kurang dari setengah jam, Wonder itu sudah memasuki gerbang tol Bogor. Sambil mengangsurkan karcis dan duit, Wina nyerocos lagi, "Katanya nanti bakal ada acara renungan dan nangis-nangisan, ya, Ol?" "Up, sori. Seumur hidup, gue gak pernah mau n­ngis buat hal-hal yang konyol kayak gitu!" ungkap Olga. Pas masuk ke perumahan mewah Vila Duta yang gak jauh dari jalan tol, dari jauh keliatan segerombolan anak yang udah kayak anak yatim. Nongkrong di depan vila Wina. Panitia juga udah pada keriting nungguin. Tentu aja mereka pada pasang tampang sebel begitu ngeliat mobil Wina. "Sori, sori. Ini bukan salah gue. Tapi salah nyokap gue. Kalo lo mau marah, marahin aja dia. Gue rela, deh," ujar Wina berusaha menetralisir suasana. *** ­Untung kesebalan anak-anak pada Wina nggak berlarut-larut. Menjelang malam, seusai buka puasa dan salat tarawih, acara penutupan dimulai. Anak-anak udah bisa berbaur kembali seolah tak terjadi apa-apa. Anak-anak berkumpul, membuat lingkaran di ruang atas yang luas dan berkarpet. Wina dan Olga ngambil tempat di pojok, nyempil di antara anak-anak lainnya. Acara dimulai dari ustad dan ustadzah yang wajahnya pada mirip Saddam Hussein, meminta maaf kalo-kalo ada salah kata. "Pada dasarnya saya bangga akan kalian. Saya cinta. Justru karena cinta yang berlebihan, saya jadi sering menegur. Karena saya tak rela kalian jadi anak yang nggak bener. Saya cinta kalian. Terlebih-lebih kepada dua anak yang meski sering bikin ulah, tapi mau bersikap manis. Olga dan Wina." Olga dan Wina tertunduk di sudut. Agak terharu. Lalu ada sambutan lagi dari ketua panitia. Ada pembacaan puisi, dan terakhir renungan suci. Semua anak bergumam menyanyikan lagi Tuhan-nya Bimbo dan lagu syukur yang sendu sambil berdiri dan bergandengan tangan. Lampu dipadamkan, diganti dengan bias lilin. "Di malam ini, kami menghadap-Mu, ya, Allah. Dengan jiwa dan niat yang bersih. Dua minggu kami berkumpul, hanya untuk mendekatkan diri pada-Mu, ya Allah. Senang dan susah kami rasakan bersama. Dan kini, kami akan saling berpisah. Tapi jangan pernah biarkan kami berkeping...." Olga mulai merasakan bulu romanya berdiri. Wina makin tertunduk dalam. Suasana memang diciptakan semakin sendu. "Dan juga jangan biarkan kami menjadi anak yang durhaka kepada orangtua. Berilah umur yang panjang pada mereka. Agar kami sempat membalas budi baik mereka, agar kami sempat membahagiakan mereka. Kami semua anak-anak yang suka khilaf, ya Tuhan. Kami kerap memaki orangtua kami. Kami kerap meremehkan nasihat mereka. Kami bahkan tak pernah menghargai mereka. Padahal, mereka yang dengan air mata dan darah berusaha membesarkan kami. Menyekolahkan kami. Memberi kami makan. Tapi kami justru membentak jika disuruh membersihkan tempat tidur kami sendiri...." Olga dan Wina gelisah. "Apakah kita pernah membayangkan, teman-teman, jika sepulang dari sini ternyata kita mendapatkan orangtua kita sudah meninggal? Padahal, belum lagi kita sempat meminta maaf...." "Huaaa! Huaaa!" tangisan paling nyaring dan menyayat tiba-tiba terdengar dari sudut ruang. Anak-anak yang tengah khusyuk, serentak menoleh kaget. Ternyata di pojok, Wina dan Olga lagi saling menangis senggrukan dan berpelukan. "Mamiii, Mamiii, ampuni Olgaaaa!!!" "Maaaa, Wina nyesel, Maaaa...." Dua anak itu makin histeris, menyebabkan beberapa panitia yang berusaha menenangkan mereka jadi kelabakan. "Mamiii, ampuni Olga, Mi. Olga janji gak membentak-bentak Mami lagi! Mami mau pake sepatu roda boleh, Mi...! Mau pake Ralph Ulurent sampe abis juga boleh. Di laci masih ada sebotol lagi, kok. Huuu, ampuni Olga, Mi...! Makanya Mami jangan suka nyari gara-gara. Huuuu...." Wina juga histeris. "Mamaaa, Wina nyesel, Ma. Pokoknya Wina gak berani lawan Mama lagi. Tapi Mama jangan asal nuduh, dong. Mama jangan seenaknya marahin Wina. Emangnya Wina nggak bisa marah. Huuuu...." Ustad, ustadzah, dan anak-anak lainnya pada bengong.... ­9. Merit ­OLGA bener-bener surprise banget demi ngeliat pengumuman di white board Radio Ga Ga siang itu. Dia hampir-hampir gak percaya. Ditelitinya pelan-pelan kata-kata yang ditulis dengan spidol biru itu. Dulu-dulu sih Olga gak pernah percaya ama apa pun yang tertulis di situ, karena papan tulis putih itu sering buat tempat becanda dengan menulisi pengumuman-pengumuman bo'ong. Tapi sejak pimpinan memberi ultimatum bagi siapa yang iseng bikin tulisan macem-macem bakal dapat hukuman sepanjang malem, maka kini Olga yakin kalo pengumuman itu gak main-main. Artinya, Mbak Vera bener-bener mau married. Ya, pengumuman itu berbunyi begini: "Aka merit dengan biaya yang sama sekali nggak irit. Segenap karyawan dan penyiar Radio Ga Ga silakan dateng, asal nggak pake sendal-jepit! ­Salam manis Mbak Vera dan Ucrit." Yang terakhir ini adalah sebutan buat Mas Joe yang di Radio Ga Ga kebagian tugas buat ngundang-ngundang. Dan setelah berkali-kali membaca pengumuman itu di dalam dan di luar hati, Olga segera melesat mencari Mbak Vera. Mbak Vera yang lagi asyik milih-milih kaset di ruang diskotek, memang tengah dirubungi penyiar-penyiar lain yang saling rebutan memberi ucapan selamat. Olga juga langsung ngasih selamat. Nggak lupa sun pipi kiri-kanan. Olga bener-bener tulus ngucapin selamat ke Mbak Vera. "Aduh, selamat, ya, Mbak? Kok gak bilang dari jauh-jauh hari? Olga kan bisa ikutan masang undian harapan. Kalo menang nanti hadiahnya kan bisa buat beli kado!" "Ah, kamu, bisa aja, Ol." Mbak Vera tersenyum malu-malu. Para penyiar lain juga pada surprise denger Mbak Vera mo merit. Karena sebelonnya Mbak Vera gak pernah cerita apa-apa. "Eh, Ol." "Apa, Mbak?" "Kamu mau ya jadi pager ayu?" Belon sempet Olga ngejawab, Ucup yang kebetula ada di situ, langsung nyeletuk, "Saya juga mau, Mbak, jadi pager ayu!" "Yeee," Olga meledek, "situ sih gak cocok jadi pager ayu. Cocoknya jadi pager beton, hihihi.... " "Biarin. Asal pager beton rumah orang kaya. Daripada kamu...." "Apa? Saya kenapa? Pager mesjid? Pager betis?" "Bukan." "Jadi apa? Pager apa? Cepet! Kalo kamu mau ngatain saya cepet! Pager apa?" "Saya belon nemuin kata-kata yang lucu, sih." Mbak Vera ngeliat kelakuan dua makhluk itu cuma senyum-senyum aja. "Udah, ah, jangan pada berantem. Kalian semua pasti saya kasih tugas. Tapi, Ucup nggak usah ikut-ikutan jadi pager ayu segala. Tugas Ucup memang masih berhubung an dengan pager juga. Yaitu, Ucup mesti ngecat pager rumah Mbak Vera: Hihi­i." Mbak Vera memang lagi bahagia-bahagianya, jadi ikut-ikutan becanda juga. Tapi, Mbak Vera selain kebanjiran ucapan selamat, ada yang sempet curiga segala. "Kok mendadak, Ver? Jangan-jangan ada apa-apanya, nih!" Yeee. ­*** ­Olga dan Wina udah manis banget hari itu. Mereka memang janjian mau ngumpul di rumah Mbak Vera di kawasan elit Kebayoran Baru. Ceritanya, di rumahnya Mbak Vera yang gede banget, ada rapat panitia persiapan upacara pernikahan. Wah, kayaknya ini pesta bakalan dibikin gede-gedean, deh. Buktinya pake rapat-rapatan segala. Dan susunan kepanitiaan ini udah dibentuk dari kemaren-kemaren. Mulai dari ketua, wakil, sekretaris, bendahara, keamanan, seksi acara, seksi konsumsi, sampe ke seksi-seksi yang lain. Yang jelas panitia tujuh belasan aja, sih, kalah komplet! "Ayo, perhatian semuanya! Tolong ya, jangan ada yang ngobrol atau bisik-bisik lagi, karena rapat segera dimulai!" tukas Ucup yang saat itu kebagian tugas sebagai pimpinan rapat. "Sebelon kita rapat membahas segala sesuatu yang perlu dibahas, ada baiknya kita mendengarkan beberapa sambutan dulu. Ya, yang pertama adalah sambutan dari Mbak Vera selaku calon pengantin cewek. Sebelum Mbak Vera memberikan kata sambutannya, gimana kalo sama-sama kita dengar dulu lagu Hush dari Milli Va..." , ­"Yeee, emangnya di radio...!" "Oh, sori, sori. Oke, deh, kepada Mbak Vera langsung ngasih sambutan, aja. Ayo, Mbak. Ver!" Mbak Vera maju sambil malu-malu. "Ya,' terima kasih buat semua panitia yang udah bersedia kumpul di sini. Juga buat Ucup yang telah mempersilakan saya memberi sambutan. Sebetulnya, Mbak Vera nggak mau bikin meriah-meriahan kayak gini. Sayang ama duitnya. Kan mending buat nambah-nambah beli rumah. Iya nggak? "Tapi karena Mama yang minta, apa boleh buat. Mbak Vera nggak bisa nolak. "Ya, sambutan Mbak Vera cukup segitu aja, deh. Selanjutnya pembagian tugas dan kerja Mbak serahkan ke Ucup aja. Silakan, Cup." Dengan sistem demokratis dan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, Ucup pun membagi-bagi tugas kepada panitia dengan adil tapi tidak merata. Artinya, banyak anak yang dapet tugas ini-itu, sementara Ucup sendiri kebagian tugas cuma ngitungin jumlah kado yang masuk. Olga dan Wina sejak pertama memang udah kebagian untuk jadi pager ayu. Jadinya bebas dari ketidakadilan Ucup. Sementara, Mas Rudi, calonnya Mbak Vera yang juga ada di situ, keliatan lagi asyik milih-milih jas yang sekiranya cocok buat dipake saat-saat resmi tertentu. Segala jas dicobanya. Dari jas safari sampe ke jas ujan. Kalo Mbak Vera tampak sibuk milih baju untuk dipake calon mertua. "Gimana, Mas, kalo papa kamu disuruh pake yang lurik aja. Biar papa saya pake yang polos," usul Mbak Vera kepada Mas Rudi. "Ah, jangan, Ver. Papaku rada sedikit burik, jangan dikasih yang lurik. Biar papaku pake yang polos aja." "Hihihi," Mbak Vera ngikik. Suasana di rumah Mbak Vera belakangan ini memang selalu rame. Banyak anak radio yang jadi sering nongkrong di situ, bantuin ngabisin makanan! Soalnya di rumah Mbak Vera banyak makanan dan minuman. Biar gitu Mbak Vera jadi seneng, karena rumahnya rame terus. Biasanya kan tu rumah sepi banget. Soal acara pesta yang bakal digelar meriah ini, selain Mbak Vera adalah anak satu-satunya, bokapnya Mbak Vera juga punya kedudukan yang lumayan di kantor. Sebagai direktur. Otomatis kalo gak dibikin meriah, si bokap malu sama relasi-relasinya. Olga dan Wina sendiri bersedia nongkrong ampe malem. Walo gak gitu banyak yang dikerjain, paling gak black-forest udah abis tiga loyang. Dua anak ini emang terkenal jago makan gratisan. Mbak Vera juga seneng dengan adanya Olga sama Wina, karena mereka sering punya ide konyol tapi menarik. Ya, dalam acara pernikahan nanti Olga mengusulkan agar dibuat acara pemilihan busana ternorak. Sementara Wina usul supaya ngadain acara diskotek pas tamu-tamu ortu udah pada pulang. Ucup lebih sadis lagi, dia usul supaya seru pasangan pengantennya waktu mau ke pelaminan, jalannya dingkring. Dan tentu saja usul itu ditolak mentah-mentah oleh Mas Rudi, sementara Ucupnya langsung ditendang keluar. "Olga sama Wina, malam ini kalian nginep di sini aja, ya? Nanti Mbak Ver teleponin ke mami kalian. Masalahnya gini, Mbak Ver suka banget sama ide-ide kalian itu. Kali aja kalo disuruh nginep dan dibebasin makan, ide-ide konyol kalian segera berhamburan." Olga melirik ke Wina. Wina melirik ke Olga. Keduanya mengangguk. Artinya, keduanya setuju atas saran Mbak Vera untuk nginep di rumahnya. Tentu aja, Mbak Vera senang. ­"O ya, ada ide untuk bikin acara unik lagi?" "Untuk sementara kayaknya belon," jawab Olga. "Tapi saya punya usul, gimana kalo untuk membangkitkan pikiran kami supaya melahirkan ide, Mbak Vera tolong sediain penganan lainnya yang lebih menarik?" "Setuju!" sembur Wina cepat. Tinggal Mbak Vera bengong kayak sapi ompong. Abis, kalo diitung-itung Mbak Veranya rugi. Ide baru masuk atu, tapi blackforest udah ilang lima. "Rugi bandaaar...!" teriak Mbak Vera sambil ngeloyor ke dapur. *** ­Malamnya menjelang bobo, Olga, Wina, dan Mbak Vera malah ngegosip di kamar. "Gimana perasaan Mbak ngadepin saat bersejarah ini? Apa gak sedih ninggalin masa remaja yang bebas? Apa justru terharu? Atau emang Mbak Vera udah bosen sendirian terus?" "Kenapa tiba-tibatiba kamu tanya begitu, Ol?" Mbak Vera balik bertanya. Mempererat pelukannya pada guling. Wina melongo. "Ya, soalnya kan udah bukan rahasia lagi kalo dulu tuh Mbak Vera paling banyak pacar. Suka gonta-ganti pacar," tukas Olga. "AbiS Mbak Vera cantik, manis, dan kaya, lagi. Makanya banyak orang yang pada ma­u ngedaptar jadi cowok Mbak," sambar Wina. Mbak Vera tersenyum. Menatap kedua anak baru gede itu dengan pandangan penuh arti. "Kenapa sih Mbak Vera sering gonta-ganti pacar? Mbak Vera tipe pembosan, ya?" Olga bertanya lagi dengan lugu. "Ah, apa salahnya sih gonta-ganti pacar?" kata Mbak Vera serius. "Yang penting kan ada alasannya." "Alasannya apa, Mbak?" Wina nyeletuk. "Untuk penjajagan. Masa pacaran itu kan merupakan tahap pencarian. Kita lagi memilih mana pasangan yang cocok buat kita, dan mana yang enggak." "Kalo Ucup tuh enggak, ya?" samber Wina. "Nah lo tau, tuh," bales Mbak Vera, "kebanyakan cewek ogah bergonta-ganti pacar dengan alasan pengen dibilang setia. Gak murahan. Ini padahal bahaya, kalo ternyata di balik semua itu sebenernya kita merasa gak cocok. Merasa tersiksa ama tingkah la­ku cowok kita itu. Kalo keadaannya kayak gitu, ngapain diterusin?" "Betul juga, Mbak," selonong Olga. "Contohnya si Jordan itu. Belum apa-apa..." "Jangan bawa-bawa gue dong, Ol!" potong Wina. "Ini kan cuma contoh!" "Contoh yang lain emangnya gak bisa?" "Udah, udah. Kok jadi pada ribut?" "Olga tuh, nyari gara-gara," rajuk Wina sambil menghantamkan bantal ke wajah Olga. Untung Olga buru-buru ngeles. Olga ngikik. Wina jadi dongkol. Sementara Mbak Vera nerusin kocolannya, "Mbak pikir banyak pacar itu bagus juga. Soalnya, kita kan harus mendapatkan yang terbaik buat hidup kita. Padahal kita baru bisa milih mana yang terbaik kalo memang tersedia banyak pilihan. Kalo cuma satuuu aja dari dulu, gimana kita bisa bikin perbandingan? Di mata kita akan sama aja, sebab yang kita tau cuma itu. Milih jodoh kan juga butuh referensi. "Berkali-kali pacaran, Mbak belum nemu yang pas. Ada aja yang bikin gak cocok. Kayak milih baju, bisa jadi begitu hati kita langsung naksir. Tapi toh kita gak lantas buru-buru ngebeli. Kita perlu liat-liat dulu, apa ada yang lebih bagus dan lebih murah? ­Mbak Ver takut kejeblos. Mbak Ver gak ingin menyesali perkawinan Mbak. Sebab gak sedikit orang bertingkah mcam-macam setelah berkeluarga, padahal dulunya ia begitu setia." Olga dan Wina manggut-manggut, memahami perkataan Mbak Vera. "Tapi ada kan yang sekali dapet, langsung cocok?" ujar Olga. "Ya, tentu aja ada." "Jadi sekarang Mbak Vera udah dapetin yang pas banget, ya?" "Gak ada yang sempuma di dunia ini, Ol. Tapi Mas Rudi mendekati apa yang Mbak inginkan. " ­*** ­Pas resepsi, Wina keliatan sebel betul sama dandanannya yang menor. Penampilannya juga jadi ajaib. Mirip-mirip tukang jamu. Rambut disanggul, dengan kebaya yang bikin susah jalan. Olga pun ngalamin hal serupa. Senyumnya ditekuk. Abis kesel. Sejak jam empat sore tadi, Olga udah didandani kayak gitu. Mana sebelumnya mereka diminta untuk gladi resik dulu, lagi! Tentu aja bikin capek. Sampe makanan yang disediakan khusus buat pager ayu dan pager bagus, gak menarik minat Olga. Selain belum laper, mik'ap tebel di muka bikin napsu makan Olga raib. Walhasil sekarang ini Olga dan Wina jadi merengut melulu. Padahal pesta berjalan meriah. Mbak Vera dan Mas Rudi pasang senyum lebar pada setiap tamu yang menyalami. Di sisi kanan pelaminan, beberapa penyanyi rada kondang mengalunkan beberapa nomor cinta. Dari lagu The Greatest Love of All sampe Cinta Karet. Olga melap keringat. Ruang ballroom yang ber-AC itu jadi gerah gara-gara lampu video menyorot abis-abisan. Kayaknya kameramen itu naksir Olga, soalnya Olga di-klos-ap terus. Olga jadi sebel. Tamu-tamu yang terdiri dari orang-orang ngetop, gak menarik minat Olga. Wina sekali melempar pandangan ke buffet-buffet makanan yang berjejer sampai ke koridor gedung, dan ke sebagian pelataran parkir yang diberi awning. Perut Wina udah terasa lapar gara-gara tadi mogok makan. Lalu dijawilnya pundak Olga. "Laper nih, Ol." "Lo kira gue enggak!!" Olga membalas ketus. Wina jadi kaget. Mereka berdua kelaparan. Tapi mau bilang apa? Selama bertugas jadi pager ayu, mereka tak diizinkan mencuil makanan yang khusus untuk para tamu. Soalnya tugas pager-pager itu ya sebagai pengganti tuan rumah. Mereka harus mengatur jalur tamu yang mau salaman sama pengantin. Menyalurkan tamu agar gak bergerombol di satu tempat. Pantes Olga rada keki waktu Wina teriak soal laper. Sebab mana bisa makan kalo tamunya masih bejibun. Olga dan Wina cuma berharap, semoga makananannya nanti gak diabisin sama tamu yang pada masang tampang lapar itu. Tapi yang bikin Olga tambah keki adalah tingkah Ucup yang terpingkal-pingkal ngeliat penampilan Olga yang ajaib. Emang sih jarang Olga berdandan sekemayu itu. Tapi ya jangan terpingkal-pingkal kayak gitu, dong! Kekekian Olga makin sempuma lagi dengan ulah pager bagus pasangan Olga yang sok kece itu. Yang dari tadi dengan centilnya ngajakin Olga ngomong terus. "Eh, Cewek, kamu bintangnya apa?" "Ngapain nanya-nanya bintang?" ujar Olga judes. "Mau tau aja. Hihihi. Ayo, dong. Bintang kamu apa?" ­"Virgo," jawab Olga pendek, berharap cowok itu gak ngajak ngomong lagi. "Virgo?" "Iya. Emangnya aneh?" "Kalo gitu kamu kenai sama si Tari, dong? Dia juga berbintang virgo!" Olga jadi bengong. ­*** ­Tapi harapan Olga dan Wina sia-sia. Pas acara kelar, semua makanan di setiap buffet ludes. "Puding-pudingnya juga gak bersisa sedikit pun!" maki Wina. Olga tertunduk loyo dekat meja. "Tamu-tamu itu pada tega banget, sih!" gerundelnya. Lalu keduanya uring-uringan menahan perut yang keroncongan. Nyesel banget tadi pake acara mogok makan segala. Saking sebelnya, keduanya lalu buru-buru ngibrit ke kamar buat nyopotin semua atribut pager ayunya. Sementara hentakan irama disko mulai terdengar di sayap kanan ballroom. Lampu red up. Sesuai rencana, begitu pesta berakhir, buat ucapan terima kasih sama anak-anak yang ikut jadi panitia, Mbak Vera nanggep disko gratis. Gino Latino memanggil dengan lagu Welcome-nya yang super enerjik. Olga dan Wina, begitu mendengar lagu favorit mereka, langsung lari terbirit-birit. Berbaur dengan temen-temen kuliah Mbak Vera dan anak-anak radio. Mereka jadi lupa sama laparnya. Sementara Mbak Vera, masih mengenakan baju penganten, ikutan turun. Hot banget. Lupa sama atributnya. Mbak Vera emang biang jojing. Dan malam ini ia seperti menikmati betul segalanya. Kebahagiaan dan keharuan. Satu momen berlalu sudah. Itu saat terakhir bagi Mbak Vera melampiaskan gairah mudanya, untuk memasuki dunia yang lain. Yang kata orang dunia gambling. "Selamat ya, Mbak Ver!" ­10. Sepatu Roda Olga ­OLGA emang selalu punya ulah yang bisa bikin Mami marah. Misalnya seperti sore ini, Olga latihan sepatu roda di dalam rumah. Tentu aja Mami jadi keki, sebab gara-gara ulah Olga yang gila-gila an itu, beberapa barang kesayangan Mami ikut jadi korban. ­Pertama adalah vas bunga yang Mami beli di Cikini seminggu sebelon Lebaran. Ancur berantakan kesenggol sikut Olga. Terus piring yang di dalamnya ada foto Mami sama Papi waktu jalan-jalan di Museum Madame Tussaud. Mana mereka berdua dengan centilnya lagi berpose akrab sama patung lilin Michael Jackson. ­Gimana Mami gak gondok? Pantes kalo akhirnya Mami nyap-nyap. Tapi karena kebetulan Mami lagi terserang influenza, jadi vokalnya gak gitu jelas. ­"Olnga, ngamu jangang ngila, ya!" bentak Mami dengan suara bindeng. Mami bertolak pinggang di pinggir bufet dengan mata mendelik. Tapi Olga sok cuek. Malah dengan santainya meliuk-liuk di antara sela ineja bangku yang sempit. Nyelonong ke dapur, masuk ke kamar tidur. Balik lagi ke ruang tamu. Lalu melakukan hatrick di samping kulkas. Di depan Mami, Olga sempet ngesot dikit, sebelum akhirnya jumping lewat papan penggilesan yang sengaja ditaro di koridor. "Asamalakata! OLNGA!!!" jerit Mami keras saking kagetnya. "Jangang maing-maing sama Mami, ya? Mami timpuk maru ngau rasa kamu!" Olga masih tetap cuek. Baru ketika Mami mengais sendal jepitnya, Olga nampak rada jiper. Nggak taunya sendal jepit Mami cuma copot talinya. Olga menghela napas lega. Kirain mau nimpuk. Olga yang tadinya mau ngibrit, akhirnya mengurungkan niat. Dan segera ambil ancang-ancang lagi dengan sepatu rodanya. Ketika itulah sekonyong-konyong sendal jepit Mami bersarang di jidatnya. Olga bengong sambil mengusap-usap jidatnya. ­Mami ngikik. "Kok beneran nimpuknya!" teriak Olga keki. "Mami bilang apa. Jangang maing-maing sama Mami. Tau sendiri akibatnya!" jawab Mami kegirangan. Lalu ngikik lagi. "Mami kok gitu, sih! Bukannya ngasih spirit, malah ngejatuhin mental. Gak tau, ya, kalo Olga lagi latihan buat pertandingan minggu depan!" suara Olga kenceng sekali. Mami kaget, trus bindengnya ilang. "Lati­n, sih, latihan, Ol. Tapi mbok ya Jangan di ruang tamu. Kan ada tempat lain yang lebih pantas." "Di mana tuh, Mi?" "Di ruang kerja papimu, misalnya." ­*** ­Olga mengaduk-aduk es jeruk. Dan Wina memasukan pisang goreng ke mulutnya. Siang ini mereka terlibat pembicaraan yang serius di kantin sekolah. Yang diomongin, gak lain rencana Olga mo ikutan pertandingan sepatu roda. Soalnya event-nya termasuk besar. Yang ngadain aja walikota. Dan diadain setahun sekali. Tahun lalu Olga pernah ikutan, tapi gak berhasil keluar sebagai juara. Malah Olga dapet nomor paling buncit. Tapi tahun itu memang baru pertama kali Olga ikut. Jadi dia belum pengalaman, dan belum ngerti medan. "Tapi gue yakin taon ini bakal menang, Win," ujar Olga rada sombong. Soalnya dari tadi Wina meragukan kemampuannya. "Wah, kayaknya sulit deh, Ol. Denger-denger si Nita Bonita ikutan lagi. Dia kan yang juara tiga kali berturut-turut. Mana menang lo ngelawan dia?" Olga gak bereaksi. Soalnya keki juga Olga sama Wina yang segitu ngebangga-banggain Nita Bonita. "Tiap hari gue kan udah latihan keras, Win. Sampe barang-barang kesayangan Mami pada berantakan!" akhirnya Olga ngomong juga setelah meneguk es jeruknya. Wina ngelirik. Pendengarannya tadi emang rada samar-samar. "Apanya yang berantakan, Ol?" tanya Wina penasaran. "Semua barang kesayangan Mami. Cuma tempolong sirih peninggala Nenek aja yang masih utuh. Kebetulan terbuat dari kuningan." "Emangnya diapain bisa berantakan begitu?" ­"Gue kan latihan sepatu rodanya di rumah." "Ah, gile lo." "Inilah jurus jitu gue, Win. Gue sengaja latihan di medan yang sempit dan sulit dilalui sepatu roda. Tujuannya supaya gue lebih gesit begitu main di lapangan. Di medan apa pun." Wina manggut-manggut. "Ah, tapi lo tetap gak bakal menang lawan Nita Bonita." Olga mendelik sewot. "Lo sebenernya temen siapa, sih?" tukas Olga sebel. "Ya, temen elo, dong. Tapi kita sih jujur aja. Dia pasti lebih hebat karena lebih pengalaman. " Olga merengut. Dan buru-buru menghabiskan es jeruknya. Lalu dengan langkah lebar-lebar, Olga masuk kelas. Tinggal Wina yang bengong sendirian. Wina nyesel juga udah mojokin Olga. Tapi sebenernya Wina mau ngomong apa adanya. Mau nyoba jujur. Gak subjektif. Siapa tau dengan ngomong begitu, Olga jadi makin semangat berlatih. Supaya gak nganggap enteng lawan. Sebab sering kita kalah hanya karena terlalu menganggap enteng lawan. ­Wina tersentak kaget waktu bel masuk berbunyi. Dan lebih kaget lagi waktu ngebayar ke Bu Kantin. Nggak taunya tadi Olga belum ngebayar semua yang dimakannya. Terpaksa Wina nombokin. ""Sialan!" umpat Wina sambil berlari masuk kelas. *** ­Saat pertandingan tinggal tig hari lagi. Olga keliatan makin getol berlatih. Tapi cara latihannya semakin aneh. Gak seperti biasa-biasanya. Misalnya bersepatu-roda sambil nyuci. Atau sambil nimba. Padahal apa hubungannya? Dan lebih konyol lagi, Olga gak pernah lepas dari sepatu roda. Gayanya udah kayak Christian Slater di film Gleaming the Cube aja. Cuma bedanya kalo Si Christ itu ke mana-mana pake skateboard, Olga pake sepatu roda. Ke kamar mandi, ke sekolah, bahkan tidur pun dia pake sepatu roda. Papi yang ngintip dari pintu, jadi heran. "Nggak salah, tuh?" "Apanya yang salah? Saya kan masih pake sepatu roda di kaki?" ujar Olga jengkel. Suatu ketika, Papi sempet juga nasihatin Olga. "Latihan sih latihan. Tapi jangan kayak orang sableng." Jawaban Olga ketus. "Ah, Papi tau apa, sih? Lawan Olga berat-berat, Pi. Karung beras aja masih kalah berat." Papi geleng-geleng kepala. Juga Mami yang nguping pembicaraan dari kamar tidur. Untung Mami udah sempet mengamankan barang-barang kesayangannya ke gudang belakang. ­*** ­Pas hari pertandingan, hati Olga ciut juga ngeliat lawan-lawannya yang rata-rata jago dan berpengalaman. Beberapa di antara mereka emang sering menjuarai berbagai pertandingan. Sedang Olga sendiri cuma modal nekat dan sedikit keyakinan. Tapi tetap aja Olga panas-dingin. Mana tadi sebelum berangkat Olga sempat ngotot-ngototan dulu sama Wina. Soalnya Wina lagi males nganter ke tempat pertandingan. Untung setelah Olga merengek-rengek, hati Wina luluh juga. Wina mau mengeluarkan Wonder kuningnya buat nganter Olga. Dalam perjalanan ternyata Olga gak mau duduk di dalam mobil. Olga memilih tetap mengenakan sepatu rodanya, lalu berpegangan di bemper belakang mobil. Otomatis Olga pun terseret mengikuti arah mobil berjalan. Di perjalanan tentu aja banyak orang yang kagum sekaligus ngeri ngeliat akrobat gratis itu. Dasar Olga sableng. Wina sempat ketar-ketir juga. Olga malah keasyikan. "Kebut lagi, dong, Win! Itung-itung pemanasan!" teriak Olga. "Olga, kalo lo kenapa-napa, yang dituntut kan gue!" tolak Wina. Tapi tak urung Wina menambah kecepatan mobilnya. Olga berteriak kegirangan. Setelah melalui lalu lintas padat, dan tatapan ngeri orang-orang di jalan raya, Olga sampe tujuan dengan selamat. Mereka buru-buru lapor ke panitia. Pertandingan memang bakal dilangsungkan sedikit lagi. Olga dapet bagian di grup "F". Ini karena jumlahnya cukup banyak. Jadi perlu dibagi dalam sepuluh grup. Pemenang pertama dan kedua, boleh melanjutkan pertandingan ke babak semi-final. Di babak ini bakal ditentukan sepuluh pemenang untuk bertanding di babak final. Olga segera mengambil tempat di pojokan yang disediakan panitia untuk peserta. Di situ ada sekitar seratus peserta yang bersiap-siap dengan sepatu rodanya. Wah, gaya mereka rata-rata pro juga. Sebab kebanyakan emang udah biangnya pertandingan. Gak ketinggalan Nita Bonita; si juara tiga kali berturut-turut ikut berlagak. Mondar-mandir dengan sepatu rodanya yang canggih. Kesannya jadi sok. Seolah gak ada yang lebih hebat dari dia. Olga memandang dengan tatapan sinis. Nita nampak lagi ngobrol akrab dengan seorang cowok keren yang ikutan jadi panitia. "Udah, deh, Ol. Lo ngalah aja!" seru Wina. Olga melotot. "Lo malah ngejatuhin mental gue, lagi!" tandas Olga keki. Wina cekikikan. Dari kejauhan panitia sibuk memanggil nama-nama yang akan bertanding di grup "A". Pertanda pertandingan bakal dimulai. Penonton nampak berjubal. ­*** ­Pertandingan di grup "A" tentu dimenangkan Nita Bonita. Dengan mudahnya dia mendahului lawan-lawannya. Bahkan dengan perbedaan jarak yang mencolok. Padahal lomba ini gak cuma adu cepat di jalan lurus, tapi diselingi dengan rintangan-rintangan yang menyulitkan. Misalnya harus melewati sela-sela ban yang ditaruh berjajar dan jumping-an yang lumayan tinggi. Di grup "F" ternyata Olga berhasil keluar sebagai pemenang, setelah bersusah-payah mengalahkan lawan-lawannya. Berarti Olga berhak maju ke babak semi-final seperti Nita. Wina, walo sebelumnya selalu merendahkan Olga, toh waktu Olga bertanding di babak semi final, dia yang paling semangat ngasih spirit. Berteriak-teriak di tepi lintasan bagai orang gila. Dan entah berkat dorongan Wina, apa Olga emang jago, si centil itu akhirnya bisa lolos dari babak semifinal. Olga melompat kegirangan. Dan langsung menomprok Wina yang menyambutnya di tepi lapangan. Penonton pun gak sedikit yang berkerumun. Soalnya Olga satu-satunya orang baru yang berhasil masuk ke babak final. Yang lainnya muka-muka lama semua. Nita Bonita sempat sengit juga ngeliat Olga yang hari itu seperti jadi bintang. Padahal dialah yang favorit. Tatapan sinis Nita tak disadari Olga. Wina buru-buru menyeret Olga ke kedai pizza, untuk memanfaatkan waktu istirahat lima belas menit yang disediakan panitia sebelum pertandingan final berlangsung. Padahal sebetulnya Olga perlu konsentrasi. Tapi Wina merengek-rengek dengan alasan perutnya udah gak bisa diajak kompromi lagi. Akibatnya, lagi asyik-asyik mereka menikmati pizza, tiba-tiba panitia udah bengak-bengok memanggil nama peserta yang berhasil masuk final. Pertandingan penentuan akan dilangsungkan. Olga buru-buru menelan pizza-nya. "Buruan, Win. Lo dulu deh yang bayar. Ntar kalo gue menang, gue ganti!" "Apa?" Wina kaget. Tapi belon sempat ia menjawab, Olga udah lari ke arah lintasan. Peserta final lainnya udah pada ngumpul di situ. Wah, kasian banget Olga gak punya persiapan mental. Tapi Olga dengan mantap masuk ke lintasan yang disediakan panitia untuknya. Olga menghela napas dalam-dalam. Di pinggir lapangan Wina mengacungkan tinjunya. Nita Bonita menatap sinis ke arah Olga. ­"On your mark. Get set. Go!!!!" Panitia meneriakkan tanda start. Nita Bonita langsung melejit paling depan. Disusul Luki yang dulu pernah jadi juara. Karena para finalis lain rata-rata punya pengalaman segunung, Olga terpaksa berada dalam urutan paling buncit. Untung jaraknya gak begitu jauh. Hanya kegigihan dan semangat yang membuat Olga terus merapat ke finalis lainnya. Soal pengalaman bertanding, Olga emang gak ada apa-apanya. Nita Bonita yang memimpin di urutan terdepan, nampak tertawa-tawa ringan. Karena udah menguasai teknik secara baik, Nita tak lagi menganggap pertandingan sebagai sesuatu yang menegangkan. Tapi rekreasi yang menyenangkan. Olga dengan wajah tenang berusaha menyusul. Keringat membanjiri sekujur wajahnya. Tapi jarak ketinggalan Olga malah makin jauh. Olga hanya berhasil menyusul dua lawannya di depan dia, sementara Nita Bonita udah berhasil melampaui satu putaran. Wah, Olga makin gak ada apa-apanya. Tapi menjelang putaran berikutnya, Olga mulai menggenjot semua semangatnya. Dan tiga lawan di depan berhasil terlampaui. Begitu memasuki daerah rintangan, Olga ­malah berhasil masuk di urutan keempat. Penonton bersorak. Olga mendapat applause. Ini makin menambah semangat Olga. Gak nyangka cara latihan yang gila-gilaan hingga membawa korban barang-barang kesayangan Mami, cukup membawa hasil. Olga emang keliatan paling terampil jika melewati rintangan-rintangan sulit. Sedang yang lain nampak kesulitan. Begitu pula Nita Bonita. Kemampuan dia di sini emang agak kurang. Tapi berkat mental juaranya, dia gak pernah keliatan gugup. Olga terns menggenjot semangatnya. Wina jejingkrakan sambil teriak-teriak, mirip monyet minta pisang. Olga melakukan jumping tinggi, dan mendarat dengan empuk. Penonton terpana, lalu bersorak-sorak. Nita Bonita masih berada di urutan terdepan. Baru ketika melewati sela-sela ban yang sulit, Olga berhasil memperbaiki posisi di urutan ketiga. Wajah Nita Bonita kini tak seceria tadi lagi. Dia juga keliatan tegang dan cemas. Takut reputasinya sebagai juara amblas diserobot Olga. Sementara itu applause penonton makin meriah aja buat Olga. "Aduh, anak itu manis banget, sih. Mana rambutnya dikuncir dua!" komentar seorang penonton buat Olga yang nyaris gak ada hubungannya sama sepatu roda. Penampilan Olga saat itu emang manis banget, meski sedikit norak. Dengan anting cuma sebelah di kuping kanan. Menjelang putaran tujuh, Olga ternyata berada di urutan kedua. Pertandingan tinggal tiga putaran lagi. Jarak ketertinggalan Olga dari Nita Bonita kira-kira setengah putaran. Seorang cowok keren bersuit-suit memberi semangat Olga. Olga kontan menggenjot lagi sepatu rodanya. Uf, berhasil! Olga berhasil melewati rintangan dengan manis. Tinggal beberapa meter lagi dari Nita Bonita. Nita sempat grogi, dan menoleh ke belakang. Ketika itulah Olga berhasil menyusulnya. Nita Bonita kalah! Nita Bonita tersusul! Penonton yang pro ke Olga kontan menjerit-jerit histeris. Tapi masih ada dua putaran lagi yang harus diselesaikan. Untungnya Olga terus memimpin. Kini Nita berada pada posisi membuntuti. Jaraknya emang gak begitu jauh. Ketika tinggal satu putaran lagi, Olga masih berada di urutan terdepan. Penonton semua yakin, Olga bakal menang. Wina udah ngebayangin bakal ditraktir di Croissant de' France, restoran masakan Prancis yang konon enak. Olga sendiri udah ngebayangin yang enggak-enggak. Itulah yang membuat konsentrasinya jadi buyar. Tinggal beberapa meter lagi menjelang finish, tiba-tiba Olga terjungkal begitu melewati jumping-an. Sepatu rodanya patah, karena kualitasnya memang murahan. Gak seperti sepatu roda Nita Bonita yang canggih punya. Olga mengerang kesakitan memegang tulang keringnya. Nita tertawa mengejek, dan dengan entengnya melewati Olga. Nita Bonita juara lagi. Beberapa panitia langsung menghambur menuju Olga. Wina ikut lari terbirit-birit. Kaki Olga keseleo dan terluka hingga mengeluarkan banyak darah. Seorang panitia bertampang kece segera membopongnya. Olga mengerang-erang kesakitan, tapi hatinya senang dalam gendongan cowok tegap itu. Malah sempat-sempatnya mengejek Wina segala. Ah, dasar Olga! Dan memang sebetulnya Olga gak perlu sedih-sedih amat. Sebab Olga-lah yang paling banyak dapat sambutan penonton. Semangat bertandingnya hebat sekali, walo kemampuannya masih terbatas. Penonton lebih suka itu, daripada Nita Bonita yang emang udah jadi. Dan kalo Olga gak menang, sebenarnya itu cuma soal waktu aja. Karena hukum alam tetap akan berlaku, bahwa yang lama selalu bakal digantikan oleh tunas-tunas baru. Siapa tau itu adalah Olga. Ya, siapa tau. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net